Kedua, potensi perubahan sistem pemilihan umum legislatif (pileg). Proses uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi.
Uji materi itu akan menentukan keberlanjutan sistem proporsional terbuka dalam pileg yang sudah dijalankan sejak 2009 atau akan berubah lagi menjadi sistem proporsional tertutup.
Sejauh ini, hampir semua fraksi politik di DPR-RI mendukung sistem proporsional terbuka. Hanya PDI Perjuangan, partai yang tengah berkuasa saat ini, menginginkan sistem pileg berubah menjadi proporsional tertutup seperti zaman Orde Lama, Orde Baru hingga Pemilu 2004 silam.
Berkaca pada catatan sejarah, perubahan sistem dari proporsional tertutup menjadi terbuka mulai Pemilu 2009 lalu, dilatarbelakangi upaya Indonesia meningkatkan kualitas berdemokrasi.
Pasalnya, dalam sistem proporsional tertutup dinilai menggelorakan oligarki kepartaian sehingga tidak demokratis karena mendorong terjadinya hegemoni partai politik.
Demokrasi cacat
Dua isu itu mewarnai dinamika hari-hari ini, jelang semakin dekatnya penyelenggaraan Pemilu 2024. Indonesia, sejauh ini tercatat dalam peta dunia sebagai salah satu negara penganut sistem demokrasi terbesar.
Mengacu pada hasil studi The Economist Intelligence Unit (EIU) yang dirilis pada awal 2022, Indonesia sejauh ini masih termasuk dalam kategori flawed democracy atau negara dengan sistem demokrasi yang memiliki cacat atau lemah.
Sebuah negara yang masuk dalam kategori flawed democracy seperti Indonesia sudah memiliki sistem demokratis melalui penyelenggaraan pemilu, yang membedakannya dengan sistem negara otoriter ataupun hybrid regime. Akan tetapi untuk beberapa aspek demokrasi lain masih mencatat kelemahan signifikan.
Dalam konteks Indonesia, berdasarkan penilaian oleh EIU, sebanyak tiga dari lima indikator naik dari 2020 yaitu keberfungsian pemerintah, kebebasan sipil dan partisipasi politik. Adapun proses elektoral dan pluralisme serta budaya politik stagnan. Dua indikator yakni kebebasan sipil dan budaya politik skornya terbilang rendah yaitu 6,18 dan 4,38.
Secara keseluruhan, Indeks Demokrasi RI pada 2021 tercatat rata-rata sebesar 6,71, lebih buruk dari kualitas demokrasi Malaysia (7,24), Timor Leste (7,06) dan India (6,91).
Indeks demokrasi EIU diukur berdasar skala 1-10 di mana semakin tinggi skor maka kondisi demokrasi suatu negara dinilai semakin baik. Adapun bila mengacu pada ranking dunia, Indonesia bertengger di peringkat 52 dari 167 negara yang dikaji dalam studi EIU tersebut.
Selama delapan tahun kepemimpinan Presiden Jokowi 2014-2021, Indeks Demokrasi RI rata-rata berkisar di skor 6,65 dengan skor terendah pada 2020 sebesar 6,30, yang juga menjadi level terendah Indonesia sejak studi EIU dibuat pada 2006.
Rendahnya Indeks Demokrasi pada 2020 banyak diakibatkan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 yang tidak efektif.
Selain itu, ada banyak kebijakan publik dirilis dengan keterlibatan masyarakat yang minim bahkan cenderung abai dengan kritik. Sebutlah, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat kontroversial, juga Undang-Undang Cipta Kerja alias Omnibus Law yang sudah diprotes banyak kalangan.
Buruk di tahun politik?
Mengacu pada Statistik Politik 2022 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) cenderung memburuk di tahun politik. Pada 2019 sebagai gambaran, aspek kebebasan sipil, satu dari tiga aspek penyusun IDI, mencapai level terendah di 77,2.
Pada 2020, skornya naik tipis walau belum mampu di level tahun politik 2014 dan 2009 yang kisarannya di atas 80.
Aspek hak-hak politik pada 2009 berada di level 56,60, naik lagi pada 2014 di level 63,72 dan pada 2019 melanjutkan kenaikan dengan skor 70,71. Akan tetapi, pada 2020, skornya turun ke 67,85.
Adapun untuk aspek lembaga demokrasi, sebagaimana data BPS, memperlihatkan ada tren penguatan di setiap tahun pemilu diselenggarakan. Namun, pada 2020, skornya menurun ke 75,66.
Bila ditelisik lebih dalam, beberapa variabel penyusun aspek terlihat turun cukup dalam pada 2020. Berdasarkan data BPS, sebanyak enam dari 11 variabel terpantau merosot ke level terendah.
Misalnya, untuk aspek kebebasan sipil, variabel kebebasan berpendapat jatuh ke level terendah dalam 11 tahun terakhir di 56,06 pada 2020. Begitu juga variabel kebebasan dari diskriminasi pada 2020 juga turun dibanding 2019 ke level 90,88.
Lebih lanjut, penurunan juga terlihat di variabel partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan pemerintah yang menyusun aspek kebebasan sipil. Skornya pada 2020 anjlok ke 54, lebih rendah dibanding 2019 dan 2009. Peran partai politik juga menurun dengan skor 75,66 pada 2020.
(rui/roy)