"Semuanya dibicarakan yang berkaitan utamanya yang berkaitan dengan politik negara ke depan akan seperti apa, tantangannya negara ini apa. Semuanya. Dan itu butuh kepemimpinan nasional dengan leadership yang kuat, yang dipercaya oleh rakyat, yang dipercaya oleh internasional yang dipercaya oleh investor, yang dipercaya," lanjut dia.
Namun dalam pertemuan dengan pemimpin redaksi dan kreator konten pada Selasa (29/5/2023) Jokowi mengatakan tak masalah soal cawe-cawe dengan alasan bangsa dan negara.
"Demi bangsa dan negara saya akan cawe-cawe, tentu saja dalam arti yang positif," kata Jokowi.
Pengamat politik Cecep Hidayat dari Universitas Indonesia (UI) menilai, selayaknya Presiden Jokowi tidak perlu terlalu khawatir soal bakal berlanjutkah programnya di tangan pemimpin berikutnya. Bahkan kata dia, sekalipun misalnya Anies Baswedan yang dipilih rakyat maka mengubah kebijakan apalagi yang sudah diatur dalam UU jelas tak semudah membalikkan telapak tangan.
"Karena kan kalau ini dinamika politik selalu berubah yang sekarang harapannya kekhawatirannya adalah ada kelanjutan atau tidak. Sebenarnya ini terkunci kalaupun Anies (Baswedan) terpilih jadi presiden ya. Itu tentu enggak bisa seenaknya mengubah berbagai aturan. Apalagi kemudian partai-partai di parlemen juga banyak yang berbeda dengan partai pendukung Anies," kata Cecep saat dihubungi pada Rabu (31/5/2023).
Menurut dia, Jokowi sebaiknya tetap harus menunjukkan netralitas dan jangan sampai mendiskreditkan calon tertentu.
Dihubungi terpisah, peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor menilai, kenegarawanan Jokowi juga diuji dengan apakah dia akan legawa menerima siapa pun pilihan rakyat. Artinya tak terlalu khawatir hingga harus mengkondisikan calon presiden yang diinginkan yang harus menang demi kelanjutan programnya.
"Ya artinya kan fungsi dan peran dia sudah terhenti di 2024 gitu ya. Untuk apa yang terjadi di next term-nya di next periode ya diserahkan saja berdasarkan hasil kesepakatan rakyat. Harus diterima secara legawa dan di situlah level kenegarawanan," kata Firman lewat sambungan telepon.
Dia melanjutkan, memang bisa dipahami jika Jokowi memiliki kepentingan personal untuk meninggalkan legacy 'warisan' yang akan dikenang dalam waktu lama. Namun dalam sistem demokrasi, hal-hal ini tak boleh dipaksakan.
"Tidak perlu dikondisikan bahwa ini harus jadi. Kalau sudah seperti itu kan dia melupakan hakikat bahwa pergantian kekuasaan itu adalah pergantian banyak hal termasuk agenda-agenda politik yang menurut rezim baru jauh lebih urgent dan itu hak pemerintahan baru berdasarkan keinginan rakyat. Hasil pemilu," lanjutnya.
Realita ini yang menurut Firman perlu dipahami tak hanya oleh Jokowi namun para pembantu dan pendukungnya.
"Jadi tak kondusif bagi pemerintahan pak Jokowi yang harusnya juga fokus pada PR (pekerjaan rumah) dan agenda yang sempat dijanjikan tapi belum terpenuhi dengan baik. Itu harusnya yang dia lebih perhatikan, kan enggak hanya masalah IKN janji beliau kan banyak sekali yang belum terpenuhi," tutupnya.
(ezr)