Ambisi Hawkins ini menunjukkan ByteDance serius mendorong aplikasi TikTok sebagai tujuan berbelanja baru di AS. Tidak hanya lewat kerja sama dengan peritel, juga dengan pemilik merek, dan kreator agar layanan TikTok Shop semakin berkembang.
Untuk pasar Amerika, perusahaan tengah menguji coba program afiliasi, hal yang telah lazim dilakukan untuk pasar Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Sebuah program yang mengajak konten kreator bekerja sama dengan pemilik merek untuk menjual produk dengan sistem bagi hasil.
Bidikan terakhir tentu saja, Asia Tenggara. Dalam laporan sebelumnya disampaikan Asia Tenggara adalah sasaran terbaik ByteDance dengan Indonesia menjadi negara tujuan awal. TikTok hadir di Indonesia tahun 2021, kemudian disusul Singapura, Filipina, Vietnam, Thailand, dan Malaysia, enam bulan setelahnya. Indonesia merupakan pasar terbesar di kawasan, menurut laporan Caixin Global.
Tahun 2023 TikTok menetapkan target Gross Merchandise Value (GMV) sekitar US$12 miliar atau sekitar Rp180 triliun (dengan asumsi kurs Rp15.000/US$) khusus kawasan ASEAN. Angka yang naik tiga kali lipat dibandingkan capaian perusahaan dua tahun sebelumnya. Tahun lalu pencapaian GMV TikTok dilaporkan mencapai US$4,4 miliar khusus pasar Asia Tenggara, dilansir The Information.
Dari banyak publikasi, jelas ByteDance mengincar ekspansi pada bisnis e-commerce dengan terus merilis layanan TikTok Shop di seluruh dunia. Indonesia bersama Inggris sudah lebih dulu. Pada Maret kemarin, giliran empat negara di ASEAN, Thailand, Vietnam, Malaysia dan Filipina, yang kedapatan fitur social commerce ini.
Pada September 2021 aplikasi TikTok telah mencatatkan pengguna 1 miliar secara global. Jika seluruh pengguna ini memakai fitur berbelanja, bisa dipastikan ByteDance akan merangsek masuk posisi tiga besar pemain e-commerce dunia yang kini dihuni, Amazon, Alibaba, dan Meituan.
(wep/roy)