Tekad Putin ini menunjukkan bahwa sesuatu yang buruk bisa saja terjadi setelah Ukraina menolak gencatan senjata Rusia. Putin percaya tidak ada alternatif selain menang dalam konflik yang mereka lihat sebagai konflik eksistensial dengan AS dan sekutunya.
“Putin kecewa dengan apa yang terjadi tetapi dia belum siap untuk meninggalkan tujuan besarnya,” kata Tatiana Stanovaya, pendiri konsultan politik R.Politik.
“Itu hanya berarti langkahnya akan lebih lama, lebih berdarah, dan lebih buruk bagi semua orang,” lanjutnya.
Pejabat intelijen AS dan Eropa mempertanyakan apakah Rusia memiliki sumber daya untuk serangan besar ini setelah memobilisasi 300.000 pasukan tambahan pada musim gugur lalu.
Namun, serangan brutal Rusia di tempat-tempat seperti Bakhmut, kota yang memiliki nilai strategis di Ukraina, telah melemahkan pasukan Ukraina untuk melakukan operasi ofensif di tempat lain, menurut pejabat di AS.
Rusia mulai meningkatkan perlidungannya setelah serangan oleh pasukan Ukraina di musim panas dan gugur yang menembus garis pertahanan mereka. Mereka menggunakan parit, jebakan tank, dan ranjau untuk mencegah Ukraina.
Dalam jangka panjang, Putin telah menyetujui rencana untuk memperluas jajaran militer hampir 50% selama beberapa tahun ke depan, mengerahkan pasukan baru di dekat Finlandia, negara yang sedang dalam proses bergabung dengan NATO, dan di wilayah penduduk Ukraina.
Potensi perang berlarut
Sergei Markov, seorang konsultan politik yang memiliki hubungan dekat dengan Kremlin mengatakan Rusia belum siap untuk serangan besar.
“Ini dapat berubah menjadi perang berlarut dan Rusia belum memiliki cukup tenaga atau peralatan untuk mengobarkannya,” katanya.
“Kita harus menghentikan serangan balik Ukraina dan menggagalkan upaya Barat untuk mengalahkan kita,” sambungnya.
Pasukan Rusia belum menunjukkan kemampuan untuk melakukan itu sejak minggu-minggu awal invasi ke Ukraina dengan merebut kembali hanya satu kota kecil dalam enam bulan terakhir yang memakan korban sangat besar. Pasukan Ukraina, sebaliknya, secara konsisten menunjukkan keberhasilan mereka memukul mundur penjajah.
Namun, para pejabat militer AS dan Eropa khawatir konflik saat ini dapat berubah menjadi perang artileri ala Perang Dunia I, sebuah skenario yang dapat menguntungkan Rusia yang punya populasi dan industri militernya lebih besar.
Secara diplomatis, Rusia telah berusaha untuk mencari dukungan negara-negara non-barat dengan seruan untuk mengadakan diskusi tentang gencatan senjata. Hal ini membuka kemungkinan gencatan senjata sementara yang membuat Rusia dapat mendapatkan waktu untuk membangun kembali pasukannya, menurut beberapa sumber.
“Kecuali ada yang berubah, kita melihat perang gesekan seperti Perang Dunia I, yang bisa berlangsung lama karena kedua belah pihak percaya bahwa mereka punya waktu,” kata Andrey Kortunov, kepala Dewan Urusan Internasional Rusia yang didirikan Kremlin.
“Putin yakin Barat atau Ukraina akan kelelahan,” lanjutnya
Adapun menurutnya, apabila Presiden AS Joe Biden kalah di pemilu 2024 nanti, maka kemungkinan AS bisa lebih fleksibel ke Rusia.
Rusia di sisi lain juga masih memiliki akses ke miliaran cadangan yuan yang tidak terpengaruh oleh sanksi dan dapat membantu menjembatani kekurangan anggaran selama 2-3 tahun.
Kini bagi negara-negara sekutu Ukraina, kekhawatiran muncul bahwa konflik akan berlangsung bertahun-tahun.
“Tahun ini akan sangat, sangat sulit untuk secara militer mengeluarkan pasukan Rusia dari setiap jengkal Ukraina,” kata Ketua Kepala Staf Gabungan AS Mark Milley pada 20 Januari lalu
"Tapi saya pikir pada akhirnya perang ini, seperti banyak perang di masa lalu, akan berakhir di meja perundingan,” lanjutnya.
(bbn)