Tekanan bunga acuan juga telah membuat yield obligasi-obligasi dengan peringkat buruk (junk bond) di kawasan Asia Tenggara sempat melesat naik ke level tertinggi dalam enam pekan terakhir, meski kini sudah sedikit melandai, menurut data Bloomberg Index.
Walau begitu, sejauh ini junk bond dari kawasan Asia Tenggara masih mencatat performa lebih baik dibandingkan obligasi sejenis di emerging Asia lain tahun ini. Berdasarkan Bloomberg Index, selisih antara keseluruhan indeks obligasi Asia Tenggara dengan emerging Asia melebar 126 bps sejak Januari lalu.
Keyakinan bahwa kawasan Asia Tenggara masih akan mampu mencetak pertumbuhan ekonomi yang bagus, termasuk Indonesia, juga kepercayaan bahwa puncak bunga BI7DRR sudah tercapai, memberi penguatan prospek obligasi korporasi. Di sisi lain, obligasi dolar AS terbitan korporasi RI juga sempat mencetak reli harga ke level tertinggi dalam setahun dan kinerjanya melampaui obligasi sejenis di kawasan Asia Tenggara.
Sektor Properti Muram
Akan tetapi, optimisme itu mungkin akan sedikit pupus bila melihat outlook bunga acuan global dan juga sinyal-sinyal perlambatan yang semakin kentara di perekonomian domestik. Bank Indonesia (BI) cenderung kurang optimistis pertumbuhan ekonomi RI tahun ini bisa mencapai level atas dari target 4,5%-5,3%.
Perlambatan laju investasi di sektor konstruksi menjadi perhatian yang bisa melukai pertumbuhan ekonomi Indonesia ketika kinerja konsumsi juga masih belum sepenuhnya bangkit menjadi motor utama.
Pengajuan kredit di sektor properti sejauh ini masih melambat dengan capaian pertumbuhan 8,6% pada April, sedikit turun dari 8,7% di bulan sebelumnya. Perlambatan itu terutama karena lemahnya pertumbuhan kredit pemilikan rumah dan apartemen yang melemah jadi 6,8% dari 7,3% pada bulan sebelumnya.
Adapun pertumbuhan kredit konstruksi dan real estat masih mampu lebih kencang pada April masing-masing 7,8% (vs 7,4% pada Maret 2023) dan 16,3% (vs 15,9% pada Maret 2023).
Masih muramnya sektor properti dan konstruksi ini agaknya turut menurunkan pula outlook obligasi sektoral. Yang paling hangat, pemeringkat global Moody’s memangkas obligasi milik PT Agung Podomoro Tbk (APLN) menjadi Caa2 dengan outlook negatif menyusul risiko utang jatuh tempo perseroan senilai US$300 juta atau sekitar Rp4,5 triliun pada 2 Juni 2024.
Peringkat baru itu lazim disebut sebagai junk bond alias obligasi sampah karena dianggap buruk dan tak layak menjadi pilihan investor.
Moody’s menyatakan, seperti dilansir dari Bloomberg News, penurunan peringkat lebih lanjut bisa terjadi bergantung pada perkembangan pertemuan manajemen terkait upaya refinancing utang jatuh tempo tersebut, juga menimbang pada perkembangan kondisi struktur permodalan dan bisnis perseroan.
Terperosoknya obligasi APLN menjadi junk bond menyusul nasib obligasi PT Waskita Karya Tbk (WSKT), emiten sektor konstruksi yang terpukul masalah utang akibat agresifitas menggarap proyek-proyek infrastruktur negara.
Obligasi milik emiten properti dan konstruksi lain juga ikut terseret. Berdasarkan data Bloomberg, obligasi yang diterbitkan oleh PT Lippo Malls, anak usaha PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), dan akan jatuh tempo pada Juni 2024, mencatat penurunan harga terbesar sejak 10 Februari lalu, pada 24 Mei lalu.
Sebelumnya obligasi dolar AS terbitan PT Delta Dunia Makmur juga terjebak ke level harga terendah pada pertengahan Mei lalu. Obligasi itu memberi kupon 7,75% dan akan jatuh tempo pada Februari 2026.
Obligasi Bank BUMN Aman?
Kemelut utang yang menjerat beberapa BUMN sektor konstruksi dan infrastruktur yaitu PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), sempat membuat obligasi bank-bank BUMN yang tercatat sebagai kreditur terkena getah dengan mencatat penurunan harga pekan lalu.
Sebagaimana diketahui, beberapa bank pelat merah seperti PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS), terlibat sebagai kreditur BUMN karya.
Baca juga: WIKA Minta Tunda Bayar Utang, Obligasi Bank BUMN Kena Getah
“Peningkatan provisi cenderung menghambat tingkat profit bank kecuali bank memiliki penggerak laba lain untuk mengimbangi dampak tersebut,” komentar Rene Kwok, analis Bloomberg Intelligence.
Akan tetapi, bank-bank besar di Indonesia kemungkinan akan dapat mengatasi ketidakpastian tersebut dan menempuh antisipasi apabila terjadi pemburukan lebih lanjut dari isu utang BUMN karya. “Obligasi dolar mereka tetap didukung oleh modal yang kuat dan kualitas aset yang tangguh,” katanya.
Pipeline Masih Panjang
Beberapa korporasi sudah bersiap menerbitkan surat utang untuk mendapatkan pendanaan. Yang terdekat adalah rencana emisi obligasi oleh anak usaha PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) yaitu Protelindo yang akan mencari dana sekitar Rp1,09 triliun pada 31 Mei-5 Juni mendatang. Disusul oleh PT BFI Finance Indonesia (BFIN), yang akan menerbitkan obligasi senilai Rp1,1 triliun pada 5-9 Juni nanti.
Adapun untuk global bond, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sudah merencanakan penjualan obligasi hijau green bond senilai total Rp5 triliun di semester 1-2023.
Green bond BMRI akan ditawarkan dalam tiga cabang (tranches) yang akan digunakan untuk mendukung pembiayaan proyek-proyek terkait energi terbarukan, kendaraan listrik dan pertambangan nikel.
Berikut ini capaian kinerja obligasi korporasi Indonesia dalam 12 bulan terakhir, menurut catatan Bloomberg.
Obligasi korporasi terbaik 12 bulan
- Indika Energy Capital IV, jatuh tempo Oktober 2025, return 7,66%
- Indofood CBP Sukses Makmur, jatuh tempo April 2032, return 6,91%
- Medco Oak Tree jatuh tempo Mei 2026, return 6,48%
Obligasi korporasi terburuk 12 bulan
- Pertamina, jatuh tempo Januari 2050, return -3,05%
- Pertamina, jatuh tempo Februari 2060, return -3,28%
- Bank Negara Indonesia perpetual, return -5,27%
(rui/aji)