“Jelas ini sangat berbahaya, pulau-pulau kecil itu bukan tidak mungkin tenggelam atau hilang. Dahulu dilarang itu kan untuk menyelamatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ditambang untuk (memenuhi) kebutuhan dalam negeri saja sudah terancam, apalagi untuk ekspor nanti,” katanya ketika dihubungi, Senin (29/3/2023).
Selain mengancam ekosistem pesisir, Trubus menyebut diperbolehkannyan ekspor pasir laut berpotensi mengganggu pembangunan infrastruktur pemerintah maupun prasarana milik swasta di dalam negeri. Pasokan pasir laut untuk kebutuhan di dalam negeri sangat mungkin akan terganggu lantaran pelaku usaha lebih memilih untuk mengekspor lantaran keuntungannya bisa lebih besar.
“Jangan sampai seperti kasus semen, langka di dalam negeri karena pasokan kurang yang ternyata diekspor untuk kebutuhang pembangunan di negara tetangga. Hal ini bisa terjadi jika pasir laut boleh diekspor lagi, rusak juga lingkungan, pembangunan juga terancam,” tuturnya.
Dia lalu mempertanyakan apa sebenarnya motif Pemerintahan Jokowi membuka kembali keran ekspor pasir laut yang sudah jelas-jelas mengancam kelestarian lingkungan. Dia merasa sangsi jika keputusan tersebut diambil hanya sekadar untuk mengoptimalisasi pemasukan negara lewat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor pertambangan.
“Ini buat apa? Apakah ini akan menguntungkan kelompok tertentu atau perusahaan tertentu? Apakah ini ada kaitannya untuk kepentingan politik [Pemilu] 2024 karena sudah dekat. Ini patut ditelusuri. Setelah 20 tahun kok bisa-bisanya dibolehkan lagi,” ujarnya.
Lampu hijau ekspor pasir laut tertuang dalam Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 26 Tahun 2023. Ekspor dapat dilakukan apabila kebutuhan pasir laut di dalam negeri untuk reklamasi, pembangunan infrastruktur pemerintah dan prasarana oleh swasta, termasuk sudah terpenuhi.
“Pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan/atau ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 9 ayat (2) PP No. 26/2023.
Berdasarkan PP tersebut, pelaku yang akan mengekspor pasir laut harus mengantongi izin pemanfaatan pasir laut yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Selain itu, mereka juga harus mendapatkan izin usaha pertambangan untuk penjualan yang diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang mineral dan batubara-yang dalam hal ini adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)-atau gubernur setempat.
Pemerintah juga mewajibkan para pelaku usaha mendapatkan perizinan berusaha untuk bisa mengekspor pasir laut. Izin usaha tersebut diterbitkan oleh menteri penyelenggara urusan pemerintahan di bidang perdagangan yang dalam hal ini adalah Menteri Perdagangan.
“Perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha di bidang ekspor diterbitkan setelah mendapatkan rekomendasi dari menteri dan dikenakan bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” dituliskan dalam Pasal 15 ayat (4) PP Nomor 26 Tahun 2023.
PP baru ini juga mengatur proses pengangkutan pasir laut secara rinci. Pelaku usaha wajib menggunakan kapal berbendera Indonesia dengan awal kapal Warga Negara Indonesia (WNI) seperti halnya sarana kapal isap untuk melakukan eksploitasi.
Namun pemerintah masih memperbolehkan penggunaan kapal berbendera asing dan awak kapal berkewarganegaraan asing bilamana kapal beserta awak dari dalam negeri sudah tidak tersedia.
Sementara dalam proses pengangkutan pasir laut pelaku usaha juga diwajibkan untuk melapor realisasi volume pengangkutan dan penempatan di tujuan pengangkutan dan menerima petugas pemantau di atas kapal.
Pelaku usaha diwajibkan untuk membayar pungutan untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dalam hal ini adalah bea keluar. Pemerintah juga mewajibkan pelaku usaha itu membayar pungutan lainnya.
(rez/ezr)