Berdasarkan data Bloomberg, rasio valuasinya pun terbilang cukup mahal dibandingkan dengan peersnya, tercermin pada Price to Earnings Ratio (PER) SCMA saat ini mencapai 14,1 kali, dan rasio Price to Book Value (PBV) sebesar 1,16 kali.
Dengan Return on Assets (ROA) dan Return on Equity (ROE) yang masing-masing mencatatkan kontraksi dari kinerja sebelumnya menjadi 6% dan 8,8%. Dengan EPS hanya Rp1,05/saham.
Secara lebih detail, kinerja laporan keuangan SCMA mengalami kontraksi pada kuartal I-2023. Tercatat pendapatan usaha mengalami penurunan, tetapi beban operasional termasuk beban usaha, dan beban program siaran mengalami peningkatan signifikan. Alhasil laba usaha SCMA tergerus mencapai 81,9% secara tahunan.
Begitu juga dengan laba bersih Surya Citra Media yang mengalami kinerja yang drop 76% menjadi hanya Rp66,66 miliar, dari kinerja sebelumnya mencapai Rp284,84 miliar pada kuartal I-2022.
Melirik pada Cash Flow Analysis pada data Bloomberg, rasio arus kas SCMA pun juga bersifat negatif, tercermin pada Cash Flow dengan Net Income SCMA tercatat minus 0,5x. Sama halnya dengan rasio Free Cash Flow per Saham Dasar yang juga minus 11,51x.
Hal ini merupakan efek lanjutan dari gencarnya SCMA memasuki bisnis media digital, seperti mengakuisisi Vidio Dot Com (Vidio), Kapan Lagi Dot Com Networks (KLY), dan juga Binary Ventura Indonesia (BVI).
Sentimen lainnya ialah SCMA tidak membagikan dividen pada 2020 hingga tahun 2021. Padahal pada masa tersebut SCMA sukses mencetak kinerja laba bersih yang positif.
Menilik lebih lanjut, sejak 2010 sampai dengan 2019 terbilang rutin membagikan dividen setiap tahunnya. Sentimen tersebut mengindikasikan investor cenderung mengurangi porsi investasinya pada saham SCMA.
(fad/roy)