GMV lazim sebagai parameter nilai transaksi dalam sebuah platform e-commerce, dan sekaligus menjadi acuan dalam pertumbuhan sebuah bisnis digital.
Jumlah ini tentu masih belum bisa menyamai grup Sea Limited, lewat platform Shopee mereka. Berdasarkan laporan Sea Limited tahun lalu nilai GMV sektor e-commerce Shopee mencapai US$73,5 miliar, atau naik 17,6% dari posisi sebelumnya.
Artinya, pencapaian TikTok baru 5,9% dari Shopee. Selisih yang sangat jauh. Apalagi mengacu pada capaian pendapatan, Shopee tahun lalu mencatatkan kenaikan 31,8% menjadi US$2,1 miliar, seperti dilansir dari Business Wire.
Meski masih kecil GMV-nya, sebagian pihak menilai TikTok Shop akan menjadi pesaing serius Shopee di masa mendatang. Apalagi jika berkaca pada pertumbuhan social commerce ini di negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia. Berdasarkan laporan Datareportal bahwa pengguna TikTok asal Indonesia menjadi nomor dua terbesar di dunia, setelah Amerika Serikat (AS).
ByteDance mengatakan bahwa jumlah pengguna TikTok Indonesia mencapai 109,9 juta pada awal 2023. Angka ini menghitung pengguna dengan batas usia minimal 18 tahun ke atas. Sedangkan total pengguna di Asia Tenggara mencapai 135 juta. September 2021 TikTok sudah mampu mencapai 1 miliar pengguna secara global.
Aplikasi TikTok yang makin menjadi tren, lantas membuat perusahaan menghasilkan pendapatan dari iklan. Datareportal mencatat iklan TikTok telah menjangkau 51,6% dari total pengguna internet Indonesia, tanpa batasan usia. Pada awal 2023, pengguna perempuan yang paling terpapar iklan TikTok dengan persentase 66,1%, sisanya laki-laki.
Ketua Asosiasi Modal Ventura Indonesia (Amvesindo), Eddi Danusaputro mengatakan bahwa platform social commerce seperti TikTok, memang telah mendapatkan tempat di pengguna digital Indonesia. Pasalnya hadir dua fitur dalam satu platform, media sosial dan e-commerce.
“Social commerce membuka gerbang baru dimana berbelanja bisa menjadi lebih menyenangkan dan santai. Jadi memang tdk hanya soal selection atau harga, tapi juga ke engagement atau entertainment,” ucap Eddi.
Model social commerce seperti TikTok, lanjut Eddi, juga menunjukkan bahwa konsumen kini tidak lagi berfokus pada harga dalam berbelanja. Dengan pengalaman berbelanja yang lebih menyenangkan, sangat mungkin layanan ini menjadi pilihan konsumen.
“Harga bukan menjadi utama, ada hal lain yang menyebabkan orang belanja, misalnya: cara berjualannya, makin mudah dan menyenangkan cara belanjanya, maka makin besar kemungkinan konsumen akan berbelanja,” papar dia.
Sebelumnya venture capital yang fokus pada pasar Indonesia, East Ventures menyatakan bahwa Tiktok tidak akan mendisrupsi pasar platform e-commerce yang sudah lama berdiri, seperti Tokopedia, Lazada, Shopee, ataupun lainnya. “Tiktok kayaknya gak bakal kemana-mana, pasti akan tetap stay di situ,” ujar Willson Cuaca Co-Founder dan Managing Partner East Ventures.
East Ventures, yang merupakan pemodal awal salah satu e-commerce besar Indonesia, Tokopedia, menjelaskan, pasar e-commerce tetap akan berkompetisi di mana kini pemain besar lain yang aktif adalah Shopee dan Lazada. Kompetisi, ucap Willson Cuaca Co-Founder dan Managing Partner East Ventures, juga baik dalam bisnis.
“Memang itulah dunia [e-commerce] ini, dunia yang penuh dengan kompetisi. Artinya dari setiap founders-nya kita sarankan untuk selalu berusaha, berinovasi, mawas dengan competition landscape. Karena user itulah yang memilih platform mana yang dipilih. Hari ini Tiktok, besok Toktok, pasti akan berganti terus. Beda-beda. Jadi yang kita investasi harus selalu berkompetisi dan mereka harus ready untuk itu,” tegas Willson.
(wep/hps)