Menurut dia, kawasan GBK terbentuk saat Presiden Soekarno berhasil memenangkan lobi sehingga Indonesia terpilih menjadi tuan rumah Asian Games ke-4, pada 1958. Sejak itu, pemerintah punya waktu empat tahun untuk membangun seluruh sarana dan prasarana acara yang bakal digelar pada 1962.
Salah satu yang disiapkan adalah kawasan olahraga yang kemudian bernama Gelora Bung Karno (GBK). Terletak di kawasan Senayan. Pemerintah mulai membeli dan membebaskan lahan dari warga asli di kawasan tersebut.
Chandra mengatakan, seluruh berkas jual beli lahan bakal kawasan GBK tersimpan dengan baik, termasuk blok 15. "Ini ada cap jempol dari para pemilik tanah awal," kata mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut.
Usai perhelatan, pemerintah kemudian menyerahkan pengelola kawasan tersebut kepada Yayasan Gelora Bung Karno. Yayasan tersebut dengan segala dinamika pada masa tersebut berulang kali mengajukan sertifikasi, dari 1970 hingga 1977.
Akan tetapi, secara resmi, HPL kawasan GBK baru terbit pada 1989. HPL sendiri, kata Chandra, memang hanya akan diberikan kepada lembaga pemerintahan dan badan usaha milik negara atau daerah. Dalam hal ini, HPL diberikan kepada Kementerian Sekretariat Negara.
Pada dokumen HPL, diktum ke-6, saat itu juga sudah dinyatakan kalau seluruh HGB yang sedang berlangsung akan tetap berlaku hingga batas kadaluarsa. Setelah masa HGB habis, lahan yang dipakai tersebut dikembalikan pada pemegang HPL atau Kementerian Setneg.
Menurut Chandra, salah satu HGB yang saat itu masih berlaku adalah HGB 26 dan HGB 27 milik PT Indobuildco. Masa berlakunya 50 tahun atau sampai Maret dan April 2023.
Bagaimana PT Indobuildco bisa mendapat izin membangun Hotel Sultan?
Chandra mengatakan, pemerintah juga mengantongi surat keputusan Gubernur Ali Sadikin berisi izin yang diberikan kepada PT Indobuildco untuk membangun hotel di Blok 15 GBK.
Peristiwa berawal ketika sejumlah pengusaha mulai banyak membangun hotel di Jakarta, pada 1971. Saat itu, Indobuildco dikatakan meminta izin kepada Ali Sadikin untuk menggunakan kawasan GBK yang strategis.
Ali Sadikin memang memberikan persetujuan, namun dengan syarat yaitu PT Indobuildco harus membayar royalti sepanjang penggunaan lahan tersebut. SK kemudian menjadi dasar munculnya HGB yang muncul pada 1973.
"Semua dokumennya pemerintah simpan juga. Jadi cuma izin menggunakan dan wajib bayar royalti," kata Chandra.
Sudah Pernah Beradu di Pengadilan Perdata
Sebelum PTUN, Indobuildco sebelumnya sudah pernah mengajukan gugatan terhadap Kementerian Setneg dan PPKGBK ke pengadilan perdata pada 2006. Kedua terus memperjuangkan klaimnya masing-masing hingga tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK).
"Bahkan PK sampai 4 kali. Hingga akhirnya Mahkamah Agung memutus kalau HPL 1/Gelora sah," kata Chandra.
Berdasarkan putusan tersebut, mahkamah pun meminta Indobuildco membayar sejumlah royalti penggunaan lahan milik negara tersebut.
Bahkan, perwakilan pemerintah dan perwakilan Indobuildco telah menyepakati berita acara eksekusi putusan PK tersebut, 8 Desember 2016. Pada saar itu, perusahaan tersebut juga telah membayar royalti kepada negara.
"Indobuildco diwajibkan bayar royalti. Logikanya, orang yang bayar royalti berarti bukan pemilik. Sedangkan orang yang terima royalti berarti pemilik," ujar Chandra.
Pemerintah sempat menilai sengketa lahan Blok 15 GBK tersebut telah selesai karena Indobuildco pun tanda tangan pada berita acara tersebut. Atau, dengan kata lain, perusahaan tersebut mengakui kawasan Hotel Sultan milik negara.
Akan tetapi, Indobuildco justru kembali menggugat HPL 1/Gelora menjelang akhir masa HGB 26 dan HGB 27. Alih-alih berhadapan dengan Kementerian Setneg, kali ini perusahaan tersebut mengambil jalur PTUN dan membidik Badan Pertanahan Nasional (BPN).
(frg/wep)