Sejumlah indikator moneter dan perbankan sejauh ini telah menunjukkan perlambatan signifikan dan terkontraksi (tumbuh negatif) sebagai akibat dari kebijakan pengetatan moneter bank sentral sejak Agustus 2022.
Kinerja penyaluran kredit perbankan yang terperosok ke level terendah sejak Maret 2022. BI melaporkan, pada April lalu kredit perbankan hanya mampu tumbuh 8,08%, melambat dibanding Maret yang masih 9,93%. Semua jenis kredit menurun pertumbuhannya pada April lalu.
Pinjaman modal kerja mengalami penurunan yang paling besar menjadi 6,6% , yang selanjutnya diikuti oleh kredit konsumsi menjadi 8,7%. Sedangkan kredit investasi bertahan di level dua digit 10,1%.
Itu tidak bisa dilepaskan dari dua hal yaitu dampak pengetatan moneter dan suramnya permintaan baik di ranah domestik maupun global terimbas perlambatan ekonomi dunia yang mempengaruhi appetite korporasi dalam mengajukan kredit baru ke perbankan. "Bila kondisi ini berlanjut, ada potensi BI akan gagal mencapai target pertumbuhan kredit tahun ini yang ditetapkan 10%-12%," kata Lionel.
Tabungan masyarakat habis?
Selain itu, indikator perlambatan lain yang mencemaskan adalah dari sisi perlambatan pertumbuhan nilai transaksi non-tunai melalui ATM, digital, kartu kredit maupun debit.
"Awalnya kami menduga penurunan itu disebabkan oleh efek musiman Lebaran. Akan tetapi, kontraksi jumlah uang kas yang beredar menunjukkan perlambatan transaksi terjadi secara umum. Ini adalah sinyal perlambatan ekonomi Indonesia," tandas Lionel. "Transaksi masyarakat lemah karena tabungan semakin menipis."
Baca juga: Nilai Transaksi Masyarakat di Bank Anjlok Rp1.099 Triliun Selama April, Ada Apa?
Dengan perkembangan terakhir itu, akan sulit bagi konsumsi rumah tangga untuk bangkit dan menopang pertumbuhan ekonomi tahun ini. "Agak berat bagi konsumsi domestik untuk bangkit karena masyarakat juga perlu perlu mengisi tabungan yang terkuras selama pandemi Covid-19," imbuh analis.
Optimisme BI juga pupus
BI sendiri juga memupus optimisme pertumbuhan ekonomi tahun ini bakal ke kisaran atas target. Bank sentral memperkirakan, perekonomian Indonesia tahun ini akan mencatat pertumbuhan di kisaran 4,5%-5,3%, dan menghapus kalimat "bias ke atas" sebagaimana selalu dinyatakan sejak awal tahun, menyusul masih lemahnya beberapa sektor penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB).
Secara gamblang, BI menyatakan kini tengah memantau secara detil perkembangan laju pertumbuhan investasi domestik. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal 1 lalu, laju investasi (PMTB) mencatat penurunan hingga 3,72% meski masih mampu tumbuh 2,11% year-on-year.
“Investasi masih bagus, tapi kalau kita pecah lagi [detilnya], investasi bangunan [konstruksi] masih rendah. Kami masih pantau apakah akan tetap rendah seperti kuartal 1 atau akan terjadi pembalikan khususnya di investasi bangunan, konstruksi, real estate,” terang Perry.
Dari tujuh komponen penyumbang pertumbuhan ekonomi menurut pengeluaran, hanya satu komponen saja yang mampu tumbuh positif pada kuartal 1 lalu, yaitu konsumsi rumah tangga yang naik 0,25% secara kuartalan dan 4,54% year-on-year. Capaian itu pun masih lebih rendah dibanding masa sebelum pandemi yang rata-rata di atas 5%.
Sedangkan enam sumber pertumbuhan lain semua masih negatif secara kuartalan pada tiga bulan pertama 2023, dipimpin oleh konsumsi pemerintah (-45,38%) sesuai pola historisnya, disusul masing-masing oleh kinerja ekspor barang dan jasa (-5,4%), dikurangi impor barang dan jasa (-6,95%), investasi PMTB (-3,72%), serta konsumsi LNPRT (-0,97%).
(rui/roy)