Sebelumnya, tiga orang pemohon mengajukan gugatan uji materi dalam perkara nomor 26/PUU-XXI/2023. Mereka adalah seorang advokat Pajak, Nurhidayat; dosen Hukum Tata Negara dan Politik Ketatanegaraan Universitas Islam Indonesia (UII), Gani Wardhana; dan Sekretaris Jenderal Pusat Studi Hukum Konstitusi UII, Yuniar Riza Hakiki.
Ketiganya menggugat keberadaan Pasal 5 ayat (2) Undang-undang nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Dalam aturan tersebut, Kementerian Keuangan tercatat sebagai pembina organisasi, administrasi, dan keuangan pada Pengadilan Pajak.
Hal ini, menurut mereka, mengancam independensi para hakim di Pengadilan Pajak. Hakim pada pengadilan pajak akan sangat sulit independen dalam penyelesaian kasus pajak kalau seluruh pembinaannya di bawah Kemenkeu. Secara sederhana, independensi kuasa yudikatif sangat sulit kalau ada campur tangan eksekutif, atau pun legislatif.
Padahal, sesuai Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD) 1945 kekuasaan kehakiman harus merdeka dalam penegakkan hukum. Sedangkan pada Pasal 24 ayat (2), seluruh kekuasaan kehakiman dari seluruh badan peradilan berada di bawah Mahkamah Agung.
Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan, mahkamah juga menilai Pengadilan Pajak adalah bagian kekuasaan kehakiman sesuai Pasal 24 UUD 1945. Sehingga, Pengadilan Pajak pun berada di bawah Mahkamah Agung.
"Dengan demikian, perlu dilakukan one roof system. Terlebih lagi, telah ada pengakuan bahwa Pengadilan Pajak adalah bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara," kata dia.
Mahkamah menilai sistem satu atap berarti pembinaan Pengadilan Pajak secara teknis yudisial, organisasi, administrasi, dan keuangan berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Mahkamah Agung; atau tanpa campur tangan lembaga lain. Hal ini juga memberikan kepastian hukum karena mendukung independensi pengadilan.
"Perintah selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026 dinilai sebagai tenggang waktu yang adil dan rasional untuk menyatukan kewenangan pembinaan Pengadilan Pajak dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung," kata Suhartoyo.
(frg/evs)