Logo Bloomberg Technoz

Dalam survei bulanan yang dilakukan Bloomberg, para ekonom memperkirakan ekonomi AS bisa mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) pada kuartal II dan II tahun ini. Kemungkinan terjadinya resesi adalah 65%.

Berbagai data ekonomi terkini menunjukkan pelemahan. Penjualan ritel dan kendaraan bermotor mulai melambat, pasar properti masih lemah, dan dunia usaha mengkaji ulang rencana ekspansi.

Industri manufaktur pun masih lemah. Sementara industri perbankan dan teknologi terus dihantui gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Indeks Personal Consumption Expenditure (PCE), yang menjadi acuan bank sentral AS untuk mengukur inflasi, naik 3,2% pada kuartal IV-2022. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang 4,3% sekaligus jadi yang terlemah sejak 2020.

PCE inti, yang mengeluarkan komponen makanan dan energi, naik 3,9%. Melambat dibandingkan dua kuartal sebelumnya yang 4,7% sekaligus jadi yang terendah sejak kuartal I-2021.

Untuk keseluruhan 2022, ekonomi AS tumbuh 2,1%. Jauh melambat dibandingkan 2021 yang tumbuh 5,9%.

Berikut pandangan pada eksekutif terhadap data pertumbuhan ekonomi:

  • “Proyeksi 2023 tetap penuh ketidakpastian. Di AS, kenaikan suku bunga acuan mulai berdampak terhadap perlambatan laju inflasi, tetapi sekaligus memperlemah pertumbuhan ekonomi“ (David Salomon, CEO Goldman Sachs Group Inc).

  • “Aktivitas ekonomi cukup baik. Namun kami, seperti yang lain, sedikit grogi dengan apa yang akan terjadi” (Daniel Florness, CEO Fastenal Co).

  • “Jika kondisi 6-9 bulan belakangan memberikan indikasi, maka kami menilai konsumen masih cukup kuat dan ini memberikan keyakinan” (Andre Schulten, CFO Procter & Gamble Co).

  • “Ini sepertinya tidak akan menjadi resesi normal. Itulah mengapa Anda mendengar kami dan yang lain bicara bahwa resesi kemungkinan tidak akan terlalu parah” (Jan Fraser, CEO Citigroup).

(bbn)

No more pages