Bloomberg Technoz, Jakarta - PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN) memastikan belum ada indikasi terjadinya kebocoran data konsumen, setelah perseroan mengalami serangan siber pada Minggu (21/5/2023).
"Sampai saat ini belum ada indikasi terjadinya kebocoran data konsumen," ujar Sudjono, Corporate Secretary BFIN dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Rabu (24/5/2023).
Emiten multifinance milik Jerry Ng dan Garibaldi 'Boy' Thohir, ini mengalami serangan siber pada Minggu lalu. Serangan dari hacker ini mendorong BFIN untuk mematikan sementara atau temporary switch off beberapa sistem utama yang menyebabkan terganggunya layanan kepada konsumen dan sebagian kegiatan operasional perusahaan.
"Perseroan telah melakukan berbagai langkah penanganan sesuai protokol dan dilanjutkan dengan upaya pemulihan layanan kepada konsumen dan kegiatan operasional perseroan secara bertahap," terang Sudjono.
Serangan siber terjadi di hari minggu. Sehari setelahnya, Senin (22/5/2023), harga saham BFIN sempat anjlok 5,02% ke level Rp1.230/saham, yang merupakan level terendah di hari itu, meski pada penutupan kembali ke level Rp1.240/saham. Hari ini, saham BFIN naik 3,67% ke level Rp 1.270/saham. Meski begitu, harga masih mengakumulasi penurunan 5,93% selama satu pekan perdagangan terakhir.
Serangan siber terhadap korporasi menjadi salah satu risiko terbesar yang dihadapi oleh perusahaan di berbagai industri. Berdasarkan survei PwC tentang prospek keamanan siber, terungkap bahwa mayoritas korporasi bersiap menghadapi lonjakan peretasan dan pelanggaran keamanan siber.
Survei itu memperlihatkan bahwa kebanyakan korporasi sudah menyadari besarnya ancaman yang ditimbulkan dari kejahatan dunia maya dan sudah bersiap menggandakan upaya untuk memperkuat keamanan sistem mereka dari serangan siber melalui belanja cyber security dalam nilai lebih besar.
Peningkatan frekuensi serangan ransomware dan insiden peretasan crypto/blockchain menjadi salah satu indikasi bahwa serangan siber tidaklah main-main.
“Serangan di cloud oleh ransomware dan malware adalah salah satu risiko terbesar yang dihadapi oleh organisasi, di mana vektor berisiko tinggi akan melalui saluran seluler dan IOT,” jelas Strategist Yeang Cheng Ling dan Analis Goh Jun Yuong dari DBS dalam CIO Insights kuartal 2-2023, yang dirilis beberapa waktu lalu, dikutip oleh Bloomberg Technoz, Jumat (19/5/2023).
Analisis DBS memperlihatkan, biaya tinggi di sektor kesehatan dan keuangan. Adapun dari perspektif sektoral, sektor layanan kesehatan, keuangan, farmasi, teknologi dan sektor energi mencatat biaya tertinggi dari setiap kebocoran data dibanding sektor-sektor lain.
Sebagai contoh, pada 2021, setiap pembobolan siber di sektor industri layanan kesehatan menimbulkan kerugian rata-rata hingga US$ 9 juta dibandingkan dengan rata-rata US$ 5 juta kerugian yang dialami oleh sektor keuangan dan teknologi.
“Rata-rata biaya yang timbul dari setiap pembobolan data (data breach) tercatat terus meningkat secara konsisten dari 2019 hingga 2021,” jelas analis DBS.
Peningkatan ancaman serangan siber itu mau tidak mau mendorong korporasi untuk lebih serius mengantisipasi dengan menaikkan nilai belanja untuk anggaran keamanan siber. Hampir 70% perusahaan berniat meningkatkan belanja keamanan siber mereka dibandingkan 55% pada tahun sebelumnya.
“Kami yakin peningkatan anggaran siber akan menjadi kenormalan baru dalam perencanaan pengeluaran di antara perusahaan, pemerintah, organisasi, dan bahkan pengguna individu,” imbuh analis.
(dhf/dba)