Cadangan nikel Indonesia diperkirakan mencapai 21 juta ton. Bersama Australia, ini adalah yang terbesar di dunia.
Tekan Subsidi BBM
Agar bisa menjadi pemain dari hulu ke hilir, pemerintah Indonesia pun memberikan berbagai insentif untuk mobil listrik, baik di tingkat produsen maupun konsumen. Misalnya diskon perpajakan.
Bagi pemerintah, pada akhirnya yang paling penting adalah pengendalian subsidi. Berkurangnya penggunaan mobil konvensional bisa meringankan beban subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).
Anggaran ini memang kerap bikin pusing. Apalagi Indonesia adalah negara net importir minyak, produksi dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan.
Saat harga minyak tinggi, anggaran subsidi BBM pun membengkak. Tahun lalu, saat harga minyak dunia melesat gara-gara perang di Ukraina, subsidi BBM (plus Elpiji 3 kg) mencapai Rp 115,61 triliun. Naik 37,99% dibandingkan tahun sebelumnya.
Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak lebih menjadi musibah ketimbang berkah. Tahun ini, misalnya, kenaikan harga minyak bisa membuat defisit anggaran membengkak.
Berdasarkan perhitungan sensitivitas dalam Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023, asumsi harga minyak Indonesia (ICP) adalah US$ 90/barel. Jika rata-rata ICP selama setahun mencapai US$ 1 di atas asumsi, maka penerimaan negara akan bertambah Rp 3,3 triliun. Namun pada saat yang sama, belanja akan naik Rp 9,2 triliun.
Dengan begitu, defisit anggaran bisa bertambah Rp 5,8 triliun. Perlu dicatat bahwa ini adalah skenario ceteris paribus, komponen lain diasumsikan tidak berubah.
Oleh karena itu, pengendalian subsidi BBM adalah program yang terus dikumandangkan pemerintah dari waktu ke waktu. Kali ini, yang ditawarkan adalah menggalakkan mobil listrik agar konsumsi BBM bisa dikurangi.
Konversi BBM ke BBG
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), upaya pengendalian subsidi BBM juga pernah diterapkan. Misalnya dengan konversi dari BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG).
Secara infrastruktur, BBG siap dimanfaatkan karena jaringan gas (jargas) sudah tersedia di 58 kota di Indonesia. Jargas tidak hanya dipakai untuk keperluan rumah tangga tetapi bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan penyaluran bahan bakar transportasi.
Namun, pemanfaatan jaringan gas untuk transportasi bukan tanpa masalah. Harga BBM di Indonesia yang tergolong murah menyebabkan 'hijrah' ke BBG semakin sulit.
Di level ASEAN, rata-rata harga BBM di Indonesia hanya kalah murah dari Malaysia.
Tidak heran Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) berguguran. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat jumlah SPBG di seluruh Indonesia per akhir 2018 hanya 68.
"Program pembangunan SPBG dihentikan pembiayaannya (dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN) sejak 2016. Ditambah anchor buyer untuk BBG transportasi adalah bus TransJakarta yang menggunakan solar dikarenakan ada kebijakan-kebijakan internal di TransJakarta yang memperbolehkan mengisi di SPBU tertentu. Ditambah pengadaan bus-bus TransJakarta yang baru tidak ada BBG-nya.
"Belum optimalnya serapan gas untuk transportasi, diperkirakan karena demand yang masih sedikit. Kebijakan adhoc pemerintah dengan mewajibkan seluruh kendaraan dinas menggunakan bahan bakar gas juga tidak efektif dikarenakan sekarang menggunakan mekanisme sewa mobil. Kerja sama dengan angkutan umum seperti taksi juga tidak efektif karena perubahan gaya hidup perkotaan yang menggunakan ojek online sebagai alat transportasi utama," papar Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM 2018.
(aji)