Anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Andi Akmal Pasluddin juga melontarkan kritik senada. Target pertumbuhan ekonomi, menurut dia, belum tercapai baik pada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) maupun APBN. Alhasil, sampai saat ini Indonesia masih berputar-putar dalam jebakan kelas menengah serta beban utang yang tinggi.
Kritikan parlemen, meski dari kalangan oposisi, menjadi penting karena masa kepemimpinan Jokowi tinggal tersisa beberapa bulan. Februari 2024, Indonesia akan menggelar Pemilihan Umum serentak untuk memilih anggota legistlatif, pemimpin daerah sampai presiden. Bila tidak ada aral melintang, presiden baru yang terpilih akan dilantik pada Oktober 2024.
Mampukah Jokowi mengejar ketertinggalan capaian target-target tersebut?
Middle income trap
Jebakan kelas menengah alias middle income trap adalah sebuah istilah yang pertama kali dikemukakan oleh World Bank, mengacu pada sebuah negara yang mampu mencapai tingkat pendapatan menengah akan tetapi tidak mampu keluar dari tingkatan tersebut ke level pendapatan negara maju.
Negara berpendapatan menengah adalah yang mencatat pendapatan per kapita antara US$3.856 hingga US$11.905 per tahun, berdasarkan kategorisasi yang dibuat oleh World Bank. Di mana posisi Indonesia saat ini?
Berdasarkan data BPS, sampai 2022, Indonesia mencatat pendapatan per kapita sebesar US$4.783, tumbuh 37,56% dalam kurun waktu 8 tahun sejak 2014, atau ketika Presiden Jokowi pertama kali menjabat. Tahun ini, pendapatan per kapita RI diprediksi bisa menembus US$5.000, walau itu masih jauh untuk membawa Indonesia ke kelompok negara maju.
Agar bisa keluar dari kelompok kelas menengah dan menjadi negara maju, Indonesia harus bisa mencetak pertumbuhan 6%-7% per tahun, menurut hitungan Kementerian PPN/Bappenas RI. Nyatanya, dalam 10 tahun terakhir, Indonesia tidak pernah mencetak pertumbuhan hingga 6%.
Berdasarkan RPJMN 2020-2024, target keluar dari middle income trap ditetapkan pada 2036 di mana pendapatan per kapita RI dikejar sebesar US$12.233 pada 2035. Target itu bisa tercapai dengan asumsi pertumbuhan ekonomi pada 2020-2025 sebesar 6% lalu 2025-2030 sebesar 6,2%, berlanjut pada 2030-2035 sebesar 5,9%.
Apa mau dikata, pandemi Covid-19 menggoyahkan target tersebut. Pecahnya pandemi Covid-19 menjadi "kiamat" bagi target pertumbuhan ekonomi. Ekonomi Indonesia pada 2020 nyungsep parah hingga mencetak pertumbuhan negatif selama empat kuartal berturut-turut sampai Maret 2021 lalu. Alhasil, semakin jauh mimpi Indonesia menjadi negara maju.
Dalam rentang 2014-2022, rata-rata per tahun Indonesia hanya mencetak pertumbuhan ekonomi 4,26%. Janji Jokowi dalam kampanye pilpres 2014 yang akan membawa Indonesia tumbuh 7%, alhasil semakin jauh panggang dari api. Selama periode kepemimpinannya, pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada 2017 yaitu sebesar 5,19%.
Angka Kemiskinan
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik terakhir, per September 2022, persentase penduduk miskin di Indonesia tercatat sebesar 9,57% dengan jumlah penduduk miskin mencapai 26,36 juta orang.
Angka-angka itu tidak bergesar jauh dari 2014, ketika Jokowi pertama menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia. Pada 2014, BPS melaporkan, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,73 juta orang atau setara persentase 10,96%. Praktis selama 9 tahun memimpin, angka kemiskinan hanya turun 5%.
Dibandingkan SBY, lagi-lagi Jokowi kalah telak. Pada 2004, jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat 36,15 juta orang atau 17,42% dari total jumlah populasi. Setelah 10 tahun memerintah, SBY berhasil menyeret turun angka kemiskinan hingga 21% menjadi 28,55 juta pada 2013.
Jokowi menargetkan angka kemiskinan bisa diturunkan hingga 7% pada 2024 dan angka kemiskinan ekstrem menjadi 0% pada tahun masa jabatannya berakhir. Namun, target itu diragukan bisa tercapai menilik sejauh ini tingkat angka kemiskinan ekstrem pada 2022 mencapai 2,04% menurut data termutakhir BPS. "Dari tren data sepertinya agak sulit mencapai angka [kemiskinan] 7% pada 2024 dan kemiskinan ekstrem 0%," kata Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers 30 Januari lalu.
Subsidi mobil listrik
Di tengah upaya menurunkan angka kemiskinan yang kemungkinan gagal dicapai, pemerintah Jokowi merilis kebijakan insentif subsidi mobil listrik berupa diskon pajak hingga 10%.
Subsidi keringanan pajak bagi konsumen pembeli mobil listrik itu diharapkan bisa merangsang pertumbuhan industri kendaraan listrik dari hulu ke hilir. Namun, menilik harga mobil listrik yang mahal, sulit mengelak bahwa subsidi itu pada akhirnya hanya akan dinikmati oleh kalangan atas.
Baca juga: "Hijrah dari BBM: Jokowi Pilih Listrik, SBY Pilih Gas
Dari hasil simulasi yang dilakukan oleh Divisi Riset Bloomberg Tecnoz, pembelian mobil listrik dengan fasilitas pinjaman dari bank (KKB) hanya mungkin dilakukan oleh kalangan dengan pendapatan minimal Rp12 juta hingga Rp30 juta per bulan.
Menurut laporan Bank Dunia yang dirilis beberapa waktu lalu, jumlah penduduk Indonesia dengan nilai pengeluaran di atas Rp6 juta per bulan hanya sebesar 1,2% dari total populasi 261 juta jiwa (2016).
Sedangkan sebanyak 20,5% penduduk termasuk kelas menengah dengan total populasi mencapai 53,6 juta orang, yaitu mereka yang memiliki pengeluaran Rp1,2 juta hingga Rp6 juta per orang per bulan.
Mayoritas masyarakat Indonesia sejauh ini masih masuk dalam kategori "menuju kelas menengah" (115 juta orang), kelompok rentan (61,6 juta orang) dan kelompok miskin (28 juta orang).
Jadi, tidak berlebihan bila banyak yang menilai insentif subsidi mobil listrik itu diperuntukkan bagi kalangan atas Indonesia yang persentasenya tak sampai 2% dari total penduduk.
(rui/frg)