Langkah tersebut mengikuti rekor kerugian kuartal 1-2023 yang dilaporkan Wijaya Karya awal bulan ini. Pinjaman dari bank dan perusahaan pembiayaan pelat merah kepada Wijaya Karya mencapai Rp12,6 triliun (US$850 juta) per Maret, menurut laporan triwulanannya. PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) adalah pemberi pinjaman terbesar WIKA dengan nominal mencapai Rp3,9 triliun.
Total utang empat perusahaan konstruksi terbesar di Indonesia—termasuk Waskita Karya dan Wijaya Karya—melonjak lebih dari 12 kali lipat menjadi sekitar 130 triliun rupiah sejak Presiden Joko Widodo menjabat pada Oktober 2014.
BUMN banyak merugi
Mengacu pada laporan keuangan terakhir, kinerja BUMN karya yang tercatat sahamnya di bursa domestik, memang tertekan, sebagian besar karena masalah utang di mana itu tidak bisa dilepaskan dari banyaknya penugasan proyek infrastruktur dari pemerintah.
Dua BUMN yakni Waskita dan Wijaya Karya, keduanya mencetak kerugian pada kuartal 1-2023. Waskita mencatat rugi bersih Rp374,9 miliar, sedikit lebih baik ketimbang kerugian periode sebelumnya yang mencapai Rp830,6 miliar. WIKA sejauh ini juga mencatat rugi bersih Rp521 miliar pada kuartal 1-2023 dengan kepemilikan kas anjlok 61% menjadi tinggal Rp2,2 triliun.
Dua BUMN karya lain di bursa yaitu PT Adhi Karya Tbk (ADHI) dan PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP), lebih beruntung dengan mencatatkan keuntungan masing-masing Rp8,45 miliar dan Rp34,22 miliar pada kuartal 1-2023.
Tekanan yang dihadapi oleh BUMN karya itu sulit dilepaskan dari lonjakan beban utang yang berlangsung sejak 2014, ketika Jokowi menghuni istana. Bila melihat data historis, lonjakan utang BUMN mulai terjadi pada 2015 setelah proyek infrastruktur banyak digalakkan.
Apabila dibandingkan, posisi total kewajiban Waskita Karya, sebagai contoh, baru sebesar Rp7,85 triliun pada kuartal III-2014. Sejak 2015, total utang perusahaan konstruksi ini terus melesat naik berlipat-lipat hingga terakhir di posisi Rp84,37 triliun pada kuartal 1-2023 di mana sebesar Rp21,23 triliun adalah kewajiban jangka pendek (current liabilities). Adapun ekuitas perusahaan tercatat Rp13,84 triliun. Itu menjadikan rasio utang terhadap ekuitas (DER) Waskita menjadi 609% atau 6 kali.
Bandingkan dengan rasio utang perseroan pada kuartal 1-2014 saat proyek-proyek infrastruktur belum membebani keuangan perseroan. Ketika itu, total kewajiban Waskita baru sebesar Rp5,91 triliun dengan nilai ekuitas Rp2,28 triliun, sehingga rasio utang Waskita sebesar 2,5x. Semakin kecil angka rasio utang, semakin sehat sebuah perusahaan. Begitu juga sebaliknya.
Wijaya Karya alias WIKA juga masih bergelut dengan beban utang besar. Perseroan mencatat total kewajiban sebesar Rp57,6 triliun pada kuartal IV-2022 dengan ekuitas sebesar Rp17,49 triliun, membuat rasio utang perseroan sebesar 3,29 kali sedikit naik dari posisi kuartal sebelumnya.
Ambisi jalan tol
Waskita dan Wijaya Karya adalah dua dari BUMN yang mendapatkan penugasan infrastruktur yang berjalan massif di era Jokowi. Terutama untuk proyek pembangunan jalan berbayar alias jalan tol. Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, selama periode 2014 hingga Maret 2023, total jalan tol yang dibangun mencapai 1.848,1 kilometer atau 264,01 kilometer per tahun.
Total utang empat perusahaan konstruksi terbesar di Indonesia—termasuk Waskita Karya dan Wijaya Karya—melonjak lebih dari 12 kali lipat menjadi sekitar 130 triliun rupiah sejak Presiden Joko Widodo menjabat pada Oktober 2014.
Bloomberg News
Beberapa proyek pembangunan jalan tol yang dikerjakan oleh Waskita di antaranya ruas Tol Kayu Agung-Palembang-Betung, lalu Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu, Tol Cimanggis-Cibitung, kemudian Tol Pejagan-Pemalang, Tol Ciawi-Sukabumi, ruas Tol Pasuran-Probolinggo, juga Tol Legundi-Bunder-Manyar Gresik.
Selain proyek jalan tol, Waskita juga menggarap proyek terkait Ibukota Negara (IKN) yaitu membangun jalan Logistik Lingkar Sepaku Segmen 4 juga Tol IKN Segmen 5A.
Adapun Wijaya Karya menggarap proyek ruas Tol Balikpapan-Samarinda, juga Tol Serang-Panimbang. Perseroan juga terlibat proyek IKN yakni proyek Jalan Tol Kariangau - Simpang Tempadung dan hunian untuk pekerja.
Kemelut utang BUMN karya itu pada akhirnya ikut mempengaruhi pamor bank-bank BUMN selaku kreditur. Harga obligasi bank-bank BUMN ikut tertekan pekan lalu menyusul pernyataan Wijaya Karya yang meminta penangguhan urusan utang.
Jalan tol Jokowi vs Jalan nasional SBY
Bicara soal pembangunan jalan, apabila dibandingkan dengan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jokowi sejauh ini unggul dalam hal pembangunan jalan berbayar alias jalan tol. Adapun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih unggul dalam capaian pembangunan jalan nasional.
SBY selama rentang 2004 hingga 2019, hanya membangun jalan tol sebanyak 189,2 kilometer, angka itu setara 10% dari yang telah dikerjakan oleh pemerintahan Jokowi sejauh ini. Akan tetapi, bila menilik data pembangunan jalan nasional, SBY jauh lebih unggul.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, selama SBY berkuasa, total panjang jalan di Indonesia bertambah 144.825 kilometer atau naik 39%, yaitu dari 372.928 kilometer pada 2004, menjadi 517.753 kilometer pada 2014.
Jalan negara pada satu dasawarsa SBY memerintah, tercatat tumbuh 11.804 kilometer menjadi 46.432 kilometer. Sedangkan jalan provinsi bertambah 13.403 kilometer menjadi 55.528 kilometer pada 2014. Adapun jalan di kabupaten/kota bertambah 119.618 kilometer menjadi 417.793 kilometer pada periode yang sama.
Sebaliknya, capaian Jokowi untuk pembangunan jalan nasional hanya bertambah 6% atau cuma 31.408 kilometer, yaitu dari 517.753 kilometer pada 2014 menjadi 549.161 kilometer pada 2022. Panjang jalan yang dibangun Jokowi itu hanya 21,7% dari yang dikerjakan oleh SBY selama berkuasa di istana.
(rui/dba)