Sunarwan mengatakan, penyelenggara negara dari tingkat kepala desa dan perangkatnya hingga para pejabat daerah terndikasi menyalahgunakan kewenangan untuk mengubah ruang laut milik negara menjadi milik perusahaan swasta dan perorangan.
“Di situ ada perbuatan dan semua dilakukan oleh penyelenggara negara. Maka dari itu, kita sampaikan bahwa petunjuk kita adalah ini adalah perkara tindak pidana korupsi,” kata dia.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebenarnya sudah memberikan sejumlah petunjuk kepada kepolisian saat pertama kali pengembalian berkas kasus pagar laut Tangerang ke Bareskrim Polri. Salah satunya, permintaan agar penyidik memindahkan perkara tersebut dari Ditipidum ke Ditipidsus atau Kortas Tipikor Polri. Selain itu, jaksa juga meminta polisi meminta perhitungan kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Namun, Bareskrim Polri ternyata tak menjalankan sama sekali petunjuk dari jaksa. Mereka kembali melimpahkan berkas kasus Pagar Laut seperti kali pertama. Hal ini membuat jaksa juga tak bisa melanjutkan proses berkas tersebut ke tingkat penuntutan dan persidangan.
“Tidak ada. Jadi berkas perkara yang kita terima itu tidak ada perubahan dari berkas perkara yang awal. Tidak ada satu pun petunjuk yang dipenuhi. Jadi tidak ada di dalam berkas perkara itu yang saksi dari BPK, dari mana, tidak ada. Tetapi ada dari ahli, tetapi bukan ahli tentang korupsi,” ucap Sunarwan.
Berdasarkan berkas Polri, jaksa sepakat adanya indikasi kuat penerbitan sertifikat hak milik (SHM), SHGB, dan izin persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (PKKPR) secara ilegal atau melawan hukum. Jaksa juga menilai ada bukti kuat terjadinya pemalsuan dokumen dan penyalahgunaan wewenang para pejabat publik yang terlibat.
Hal ini membuat penyidik Polri menjeratnya dengan pasal pidana umum yaitu Pasal yang diterapkan, yakni Pasal 263 KUHP dan Pasal 264 KUHP, Pasal 266, hingga Pasal 55-56 KUHP.
Akan tetapi, jaksa menyoroti adanya dugaan penerimaan gratifikasi atau suap para tersangka dalam kasus tersebut; termasuk Kepala Desa Kohod Arsin; dan Sekretaris Desa Kohod Ujang Karta. Dua tersangka lainnya adalah penerima kuasa dalam pengurusan dokumen yaitu Septian Prasetyo dan Candra Eka.
Unsur Tipikor, kata Kejagung, semakin kuat karena jaksa juga menemukan potensi kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara sebagai akibat dari penguasaan wilayah laut secara ilegal.
Kasus pagar laut tersebut, berawal dari munculnya pagar laut lebih dari 30 kilometer di pesisir Utara Kabupaten Tangerang, terutama Desa Kohod. Dalam polemik tersebut, pemerintah kemudian mengungkap ada 280 sertifikat berbentuk SHM dan SHGB atas lahan di kawasan perairan laut.
(azr/frg)


























