Logo Bloomberg Technoz

Dari neraca konsolidasian per 31 Desember 2024, penempatan dana pada bank tercatat mencapai Rp33,76 triliun, meningkat dari Rp32,85 triliun pada tahun sebelumnya.

Ini menjadikan penempatan dana di bank sebagai salah satu pos aset terbesar BPKH—bahkan jauh melampaui nilai investasi langsung yang hanya tercatat Rp885,3 miliar, serta investasi emas yang nyaris tak berarti yaitu hanya Rp2,36 miliar.

Porsi besar dana yang tersimpan dalam penempatan perbankan memang memberikan stabilitas dan risiko rendah, namun tidak mampu memberikan imbal hasil yang tinggi.

Apalagi di tengah tren suku bunga global yang mulai menurun pada akhir 2024, potensi return dari deposito syariah diperkirakan tidak akan sekompetitif tahun-tahun sebelumnya.

Ketergantungan yang terlalu besar dana haji pada penempatan di aset-aset konservatif tersebut dapat menghambat optimalisasi aset yang seharusnya menjadi tulang punggung nilai manfaat jemaah.

Efisiensi Menurun, Likuiditas Tergerus

Selain lemahnya kinerja investasi, efisiensi aset BPKH juga menunjukkan tren penurunan. Salah satu indikator utama adalah kas dan setara kas yang anjlok tajam dari Rp2,19 triliun pada 2023 menjadi hanya Rp1,55 triliun di akhir 2024.

Bersamaan dengan itu, giro dan penempatan di Bank Indonesia juga turun drastis dari Rp5,01 triliun menjadi Rp2,81 triliun. Kombinasi keduanya menunjukkan bahwa posisi kas BPKH melemah lebih dari Rp3,8 triliun, yang dapat membatasi fleksibilitas likuiditas institusi ini.

Meski dalam laporan arus kas tercatat kas dari aktivitas operasi masih surplus, total kas dan setara kas pada akhir tahun 2024 juga turun lebih dari Rp2,84 triliun, yaitu dari Rp7,2 triliun menjadi Rp4,36 triliun.

Penurunan likuiditas yang tajam ini kontras dengan klaim surplus yang dibukukan, dan memberi sinyal adanya mismatch antara arus kas masuk dan pengelolaan kewajiban jangka pendek.

Defisit, Program Tak Terserap Maksimal

Dari sisi operasional penyelenggaraan ibadah haji, BPKH masih mencatat defisit sebesar Rp7,5 triliun, selisih antara pendapatan setoran jemaah yang sebesar Rp12,39 triliun dan beban penyelenggaraan yang menembus Rp19,90 triliun.

Artinya, nilai manfaat hasil investasi harus terus dialokasikan untuk menutup subsidi biaya jemaah, tanpa adanya upaya serius memperbaiki struktur pendanaan secara fundamental.

Defisit ini terjadi meskipun pemerintah telah menaikkan porsi biaya yang ditanggung oleh jemaah menjadi sekitar 60% dari total biaya haji.

Fakta bahwa defisit tetap tinggi menunjukkan bahwa efisiensi dan struktur pembiayaan belum membaik. Lebih jauh, beban nilai manfaat ini berpotensi menggerus daya tahan portofolio BPKH di masa depan apabila imbal hasil tidak ditingkatkan.

Selain itu, beberapa pos anggaran juga menunjukkan serapan yang tidak maksimal. Belanja pegawai BPKH hanya terealisasi 91,37% dari rencana, belanja modal 97,23%, dan program kemaslahatan hanya 97,97% dari target.

Capaian ini memperkuat dugaan bahwa kinerja pelaksanaan program belum optimal dan masih menyisakan ruang besar untuk perbaikan dalam perencanaan dan eksekusi.

Surplus Hanya Tampak di Laporan

Meski mencatat surplus tahun berjalan sebesar Rp1,11 triliun, kenyataan di baliknya menunjukkan bahwa surplus tersebut tidak sepenuhnya berasal dari efisiensi atau strategi pengelolaan yang membaik.

Sebagian besar kelebihan dana berasal dari windfall ekonomi makro seperti bunga tinggi yang mendorong return deposito, serta perubahan struktur biaya jemaah yang mengurangi beban BPKH, bukan dari kinerja investasi aktif yang solid.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa BPKH masih berjalan dalam pola konservatif yang tidak cukup progresif untuk memastikan dana haji berkembang secara optimal.

Kegagalan mencapai target nilai manfaat dari investasi seharusnya menjadi alarm bagi institusi ini untuk mulai merombak portofolio, mengevaluasi strategi investasi, dan meningkatkan akuntabilitas atas pengelolaan dana umat yang sangat besar nilainya.

(riset)

No more pages