Dia menambahkan upaya-upaya tersebut sesuai dengan target pemerintah untuk menekan emisi karbon pada 2030, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dengan skema 29% dari upaya mandiri dan 41% dari bantuan internasional.
“Presiden Joko Widodo kemarin mengikuti pertemuan G7 di Hiroshima, [Jepang] dan beliau [berencana] meningkatkan target [nol emisi] tersebut dari yang tadinya 29% menjadi 31,89% untuk upaya sendiri dan dari 41% menjadi 43,25% untuk bantuan internasional,” kata Moeldoko.
Bagaimanapun, upaya Indonesia untuk bertransisi menuju ekonomi hijau dan menekan emisi karbon masih jauh panggang dari api. Hingga saat ini, Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan tingkat ketergantungan tinggi terhadap pembangkit bertenaga batu bara.
Dalam sebuah kesempatan di sela pertemuan tingkat menteri Asean di Bali pada Maret, Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak menampik Indonesia masih kesulitan mendapatkan pendanaan untuk merealisasikan transisi energi.
Menurutnya, isu penanaman kapital di sektor ekonomi hijau tidak sekadar dipicu biaya yang mahal, tetapi ketakutan pemodal terhadap stigma RI sebagai negara berbasis batu bara.
Ketidakpercayaan Investor
Menyitir riset International Renewable Energy Agency (Ierna), kebutuhan investasi jangka pendek Indonesia dalam rangka percepataan transisi energi mencapai US$314,5 miliar atau sekira Rp4,7 kuadriliun selama 2018—2030. Dengan demikian, Indonesia baru dikatakan sanggup memenuhi komitmen Paris Agreement untuk menurunkan suhu sebesar 1,5 derajat celcius.
Adapun, menurut catatan Kementerian Keuangan, total kebutuhan Indonesia untuk pendanaan transisi energi menembus Rp4.002 triliun atau sekitar US$281 miliar sampai dengan 2030.
“Sebenarnya banyak [investor] yang tertarik mendanai atau berinvestasi [untuk transisi energi di Indonesia], tetapi mereka maunya hanya di sektor renewables [energi baru terbarukan], tanpa menyelesaikan isu coal retirement [pensiun dini PLTU batu bara],” ujar Sri Mulyani di sela Seminar on Financing Transition in Asean, yang merupakan bagian dari rangkaian pertemuan Asean Finance Ministers and Central Bank Governors (AFMGM) di Nusa Dua, akhir Maret.
Sri Mulyani menegaskan, komitmen investasi di sektor EBT saja tidak akan cukup untuk membantu Indonesia mewujudkan misi nol karbon pada 2030. Investor harus mau masuk ke pendanaan pensiun dini PLTU berbasis energi fosil atau batu bara.
“Cuma karena ada kata ‘batu bara’ di situ, investor banyak yang enggan. Mereka takut dituding mendanai proyek-proyek yang bertentangan dengan komitmen green financing, padahal tujuannya juga untuk transisi energi,” ujarnya.
(wdh)