US Treasury secara tradisional dianggap sebagai kelas aset yang nyaris tanpa risiko. Sepanjang babakan krisis yang melanda pasar, apakah itu pada 2001 ketika pecah serangan 911, atau ketika krisis finansial 2008 melanda, bahkan ketika peringkat kredit AS dipangkas pada 2023, US Treasury selalu jadi buruan investor yang butuh melindungi portofolio dari kerugian lebih dalam.
Namun, yang terjadi di pasar belakangan ini, seakan mematahkan pandangan tradisional itu. Posisi US Treasury sebagai aset aman makin dipertanyakan ketika ia bergerak dan diperdagangkan layaknya aset berisiko.
Pergerakan harga Treasury, yang diindikasikan oleh tingkat imbal hasil, berakrobat dengan volatilitas nan tajam ketika harga saham juga menghadapi roller coaster yang besar dalam dua pekan terakhir.
US Treasury utamanya tenor panjang, yield atau imbal hasilnya melonjak naik tajam belakangan di tengah kejatuhan indeks dolar AS.
Kenaikan yield indikasi harga obligasi tertekan aksi jual. Ketika itu terjadi, investor pada saat yang sama juga ramai-ramai keluar dari saham, mata uang kripto dan aset berisiko lain seperti obligasi emerging market.
Menteri Keuangan AS di era Pemerintahan Bill Clinton, Lawrence 'Larry' Summer, dalam akun media sosialnya, mengatakan, US Treasury saat ini bergerak tak ubahnya surat utang pasar berkembang. Apa yang terlihat di pasar Treasury saat ini, seakan mengirim sebuah pesan pada para pembuat kebijakan di Washington.
Yakni bahwa kepercayaan investor terhadap surat utang Pemerintah AS tidak bisa lagi dianggap enteng, tidak setelah bertahun-tahun AS memompa pasar dengan likuiditas yang melejitkan beban utangnya hingga begitu tinggi.
Juga tidak dengan seorang presiden di Gedung Putih menetapkan aturan di dalam dan di luar negeri, sembari dalam prosesnya memusuhi banyak kreditur -pemegang Treasury- terbesar.
Jepang dan Tiongkok sejauh ini menjadi pemegang terbesar surat utang AS. Jepang memegang Treasury sebesar US$ 1,07 triliun, sekitar Rp17.575 triliun sampai akhir Januari lalu.
Sedangkan Tiongkok, yang dijadikan 'musuh utama' babakan perang dagang kali ini oleh Trump, menguasai Treasury sekitar US$ 760,8 miliar, sekitar Rp12.388 triliun.
Melansir Bloomberg News, hal ini memiliki implikasi besar bagi sistem keuangan global. US Treasury sebagai aset 'bebas risiko' di dunia, kerap dijadikan patokan dalam penentuan harga segala hal mulai dari saham, hingga obligasi pemerintah sampai tingkat bunga KPR sekaligus berfungsi sebagai agunan untuk pinjaman bernilai triliunan dolar AS setiap harinya.
"US Treasury dan dolar AS memperoleh kekuatan dari 'persepsi dunia terhadap kompetensi manajemen fiskal dan moneter AS serta soliditas lembaga politik dan keuangan AS. Mungkin dunia kini sedang menimbang lagi hal itu," kata Jim Grant, Pendiri Grant's Interest Rate Observer, dikutip dari Bloomberg News.
Pada perdagangan Kamis, harga hampir semua aset yaitu saham, Treasury sampai dolar AS jatuh berbarengan, menambah kekhawatiran bahwa para investor asing ramai-ramai keluar dari aset-aset Amerika.
"Obligasi Pemerintah AS tidak berperilaku layaknya aset aman. Jika kita tergelincir dalam resesi, ada jalan yield kembali turun. Namun, saat ini Treasury digambarkan sebagai produk yang ternoda, itu tentu bukan wilayah yang nyaman. Treasury juga terbukti menjadi perdagangan yang meyakitkan," kata Padhraic Garvey, Rates Strategist dari ING.
Namun, tak semua orang sepakat bahwa mulai ada penurunan kepercayaan terhadap kemanan US Treasury. Sebagian menilai apa yang terjadi pada pasar obligasi AS semata karena faktor teknis hingga UST tenor panjang banyak dijual.
Ada indikasi para hedge fund melepaskan leverage, yang mengambil untung dari perbedaan harga antara UST dengan swap suku bunga atau kontrak berjangka.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent dalam wawancara dengan Fox, mendukung pandangan tersebut. Bessent mengatakan, dana-dana besar yang memiliki leverage, menghentikan perdagangan setelah mengalami kerugian. "Saya yakin tidak ada yang sistemik tentang hal ini. Saya rasa ini adalah develeraging yang tidak nyaman namun normal terjadi di pasar obligasi," katanya.
Sebagian lagi menilai, aksi investor melepas aset berkelas tinggi seperti Treasury, adalah ekspresi kekhawatiran akan seberapa merusaknya tarif Trump terhadap prospek pertumbuhan dan inflasi ke depan.
"Orang-orang memang berhak khawatir tentang pengelolaan makroekonomi. Namun, tidak jelas bagi saya, setidaknya belum, bahwa ini adalah episode di mana investor secara khusus menghukum aset AS," kata Benson Durham, Head of Global Asset Allocation di Piper Sandler yang juga pernah jadi ekonom di Federal Reserve.
Bila tekanan jual terus membesar di pasar keuangan Amerika, terutama mungkin dari investor asing, AS bisa ketiban masalah. Menurut catatan Apollo Global Management Inc., investor asing menguasai US$ 7 triliun US Treasury, lalu sebesar US$ 19 triliun dalam bentuk saham, kemudian sebesar US$ 5 triliun dalam bentuk obligasi korporasi, yang mencakup 20%-30% dari total pasar.
"Kita diperlakukan oleh pasar global seperti pasar berkembang yang bermasalah. Ini bisa memicu berbagai macam lingkaran setan mengingat utang dan defisit pemerintah serta ketergantungan AS pada pembeli asing," kata Summer.
Efek ke Surat Utang RI
Pergolakan liar pasar surat utang AS dengan mudah berdampak pada pasar obligasi domestik. Pada perdagangan hari pertama usai libur panjang, yield SUN langsung melompat mengikuti yang terjadi di New York.
Imbal hasil SUN-10Y misalnya ketika itu naik langsung 17 bps di awal transaksi, memaksa Bank Indonesia masuk dan mengintervensi kejatuhan harga obligasi negara secara besar.
Volatilitas US Treasury juga berdampak besar pada SUN berdenominasi dolar AS. Aksi jual atas tenor panjang INDON, surat utang RI dalam denominasi dolar AS, dengan kenaikan yield 20Y INDON sebesar 10,2 bps menjadi 5,86% diikuti yield 30Y INDON yang naik 7,3 bps menjadi 5,89%.
Ketika Trump menunda tarif hingga IHSG rebound kemarin, harga SUN juga ikut terangkat. Sebagian juga mengikuti pergerakan di AS.
Pada perdagangan hari ini, sebagian besar tenor tertekan di mana yield naik cukup banyak terutama untuk tenor menengah seperti SUN-5Y yang naik 3,5 bps dan 10Y naik 2,4 bps.
-- koreksi pada besar penurunan indeks dolar AS.
(rui/aji)




























