Logo Bloomberg Technoz

AS adalah negara bidikan utama pada pedagang di seluruh dunia untuk menjual barang alias mengekspor.

Kultur masyarakat yang konsumtif, daya beli yang kuat serta stabil didukung keunggulan nilai tukar yang superior terhadap hampir semua mata uang, menjadikan AS sebagai pasar favorit para eksportir.

Belum lagi adanya semacam validasi di antara para eksportir bila sudah berhasil menembus pasar Amerika. Barang yang mampu menembus pasar AS, biasanya juga lebih mudah dipasarkan di negara lain. 

Sebagai gambaran, nilai PDB Amerika sampai Desember 2024, mencapai US$ 29,72 triliun, terbesar di dunia. Belanja konsumen alias konsumsi jadi penyokong utama ekonomi AS, selain investasi, belanja pemerintah serta ekspor.

Amerika Serikat adalah negara dengan ukuran ekonomi terbesar di dunia, pendapatan masyarakat tinggi (Riset Bloomberg Technoz)

Daya beli rakyat AS juga tinggi. Nilai disposable income per orang di AS, yang menggambarkan nilai pendapatan orang Amerika setelah dikurangi pajak dan potongan wajib lain, yang bisa digunakan untuk konsumsi, mencapai US$ 65.285, per akhir Februari lalu.

Itu menjadi yang tertinggi sejak Maret 2021 lalu. Angka tersebut juga jauh lebih tinggi dibanding Tiongkok yang 'cuma' US$ 5.659 per orang. 

Pertumbuhan upah di AS juga stabil di mana upah per jam rata-rata pekerja di negeri adikuasa itu tumbuh 3,8% pada Maret lalu. Sementara pada kuartal IV-2024, besar upah atau gaji orang AS berdasarkan laporan PDB, mencapai US$ 12.559,3. Itu menjadi yang tertinggi sejauh ini.

Dengan profil seperti itu, bukan hal mengagetkan bila banyak negara di dunia membidik negara dengan penduduk berjumlah 327,82 juta orang itu, menjadi incaran utama.

Tiongkok adalah yang paling banyak menjual barangnya ke negeri yang merdeka pada tahun 1776 tersebut. Nilai ekspor China ke AS mencapai US$ 438 miliar pada 2024. Disusul oleh Uni Eropa dengan nilai ekspor sebesar US$ 47,41 miliar.

Ekspor Tiongkok, EU, Jepang, Indonesia, Vietnam dan Malaysia ke AS (Riset Bloomberg Technoz)

Akibat banjir barang-barang bikinan mancanegara yang masuk ke AS, tak seimbang dengan barang bikinan Amerika yang dijual ke negara lain, neraca dagang mereka nyaris selalu defisit. Angka terakhir defisit neraca dagang AS mencapai US$ 122,7 miliar per akhir Februari.

Demi membalik situasi agar neraca dagang AS bisa lebih seimbang dengan negara lain, keluarlah kebijakan tarif tersebut.

Dalam bayangan Trump, pengenaan tarif ke negara-negara yang selama ini menikmati surplus dagang dengan AS, adalah hal yang adil dan dalam jangka waktu mendatang diharapkan bisa mendorong masuknya investasi langsung ke AS.

Dalam akun Truth Social pada 9 April lalu, Trump menulis: "Inilah waktu yang tepat untuk memindahkan perusahaan Anda ke Amerika Serikat, seperti Apple dan yang lainnya, lakukan. Tarif nol dan sambungan listrik juga energi hampir seketika. Tidak ada penundaan lingkungan. Jangan menunggu, lakukan sekarang!"

Indonesia misalnya, yang selama ini mencatat surplus dagang dengan AS terbanyak dari penjualan tekstil, pakaian dan alas kaki.

Ketimbang terkena tarif yang besar bila menjual langsung ke negeri itu yang bisa melukai harga jual atau menggerus marjin, Trump mengharap para penjual terdorong menjadi investor dengan membuka usaha di AS langsung dan dapat menciptakan lapangan kerja di sana.

Trump pada dasarnya ingin negara-negara lain membeli lebih banyak produk bikinan AS ketimbang sekadar menjadikannya pasar.

Masalahnya, seberapa mampu negara-negara mitra AS itu menjadi kosumen produk AS? Dari sisi nilai tukar saja, sudah kalah banyak.

Nilai rupiah merosot terhadap hampir semua mata uang di dunia (Riset Bloomberg Technoz)

Indonesia, contohnya. Dengan nilai ekspor ke AS mencapai US$ 26,31 miliar, sementara impor 'hanya' US$ 11,97 miliar, berdasarkan data Kementerian Perdagangan, terjadi surplus dagang sebesar US$ 11,34 miliar.

Bila diandaikan Indonesia menjadi konsumen produk AS, dengan nilai tukar yang jauh lebih lemah dan daya beli jauh di bawah level AS, rasa-rasanya mustahil bila konsumen negeri ini mendadak 'royal' belanja produk AS.

Tentu saja masalahnya tidak sesederhana itu. Indonesia bisa menyeimbangkan neraca dagangnya dengan AS dan menegosiasi agar tarif bisa di'gocek' lagi, dengan mempertemukan kebutuhan yang mungkin bisa dibeli dari sana, sembari memperluas pasar ke negara lain. 

Dalam paparan di acara Sarasehan Ekonomi pada 8 April lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto juga Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi petunjuk akan menempuh sejumlah jurus dalam bagian negosiasi dagang dengan AS.

Presiden Prabowo Subianto tiba-tiba panggil Menko Ekonomi Airlangga Hartarto. (Bloomberg Technoz/Azura Yumna)

Di antaranya, mengalokasikan volume impor saat ini dengan secara strategis meningkatkan pangsa produk pertanian AS, khususnya kedelai, untuk menyeimbangkan defisit dagang AS dengan RI.

Indonesia juga berencana menyanggupi keinginan AS dalam penyeimbangan neraca perdagangan bilateral kedua negara melalui jalur negosiasi. Salah satunya adalah dengan janji untuk membeli LPG dan LNG dari Negeri Paman Sam.

Chief Economist Trimegah Securities Fakhrul Fulvian mengatakan, jeda waktu penundaan tarif selama 90 hari menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk melakukan konsolidasi terkait berbagai kebijakan perdagangan, terutama terkait dengan AS.

Perang dagang melahirkan peluang re-shoring dari beberapa negara yang diperkirakan akan terkena dampak lebih besar ketimbang Indonesia di Asia, mulai dari Vietnam, Bangladesh, Tiongkok hingga Thailand.

"Industri seperti garmen, tekstil, sepatu juga furniture bisa menjadi industri yang memiliki prospek positif bagi Inndonesia. Terkait itu, kebijakan deregulasi izin usaha dan kemudahan ekspor perlu dipercepat," kata Fakhrul.

(rui/aji)

No more pages