Menurut pernyataan yang menyertai rilis data, Dong Lijuan, Kepala Statistik NBS, mengatakan bahwa cuaca yang lebih hangat menyebabkan harga-harga makanan turun, sehingga mengurangi inflasi bulanan.
Ia juga menunjuk pada penurunan harga minyak dan mengatakan bahwa lebih sedikit wisatawan setelah liburan panjang menekan biaya perjalanan.
"Dampak kebijakan dari meningkatnya permintaan konsumen secara bertahap muncul," kata Dong.
Meski liburan Tahun Baru Imlek yang lebih awal dari biasanya membantu mendongkrak harga pada awal tahun 2025, risiko deflasi sejak itu meningkat karena ketegangan antara AS dan China meningkat menjadi siklus kenaikan tarif saling balas.
Harga bisa tertekan melemah lebih lanjut jika eksportir mengalihkan beberapa barang ke pasar domestik atau jika negara-negara lain yang menghadapi tarif tinggi AS mengalihkan produk mereka ke China.
Presiden Donald Trump menaikkan bea masuk dari China menjadi 125%, sebuah keputusan yang diambil setelah Beijing mengumumkan rencana akan membalas semua impor dari AS dengan tarif 84%.
Pemerintahan Trump sudah membidik China secara khusus atas praktik perdagangannya dan pendekatan agresifnya terhadap rencana tarif Trump.
Blomberg Economics memprediksi serangan mendadak Trump bisa membahayakan pertumbuhan ekonomi China sebanyak 3%. Perdana Menteri Li Qiang mengatakan Beijing memiliki banyak perangkat kebijakan untuk "mengimbangi" guncangan eksternal.
China juga sudah berjanji akan meningkatkan konsumsi domestik karena tarif mengancam ekspor, yang berkontribusi pada hampir sepertiga dari ekspansi ekonomi negara itu pada tahun 2024.
Negara Tirai Bambu ini sedang menuju penurunan harga terpanjang secara ekonomi sejak tahun 1960-an sebagai akibat dari belanja yang lemah. Sementara itu, jatuhnya harga properti belum mencapai titik terendah.
(bbn)

































