Mengacu data realtime Bloomberg, rupiah dibuka melemah tajam 1,72% di level Rp16.845/US$, menjadi mata uang Asia dengan pelemahan terdalam pagi ini. Rupiah setelah itu beringsut makin lemah di posisi Rp16.860/US$ mencerminkan pelemahan 1,84% pada pukul 09.11 WIB.
Secara teknikal, rupiah telah menjebol level support terdekat dan berpotensi melanjutkan pelemahan menuju Rp17.000/US$ menyusul nilainya di pasar offshore.
"Kami memperkirakan tarif AS yang baru akan memberikan dampak minimal terhadap laba perusahaan Indonesia, yang sudah berada pada basis rendah untuk estimasi 2025," kata Satria.
Sebaliknya, margin perusahaan mungkin terkena dampak positif, karena rupiah telah terdepresiasi sebesar 5% dalam sebulan, tetapi harga minyak -- yang merupakan biaya input utama bagi perusahaan Indonesia-- telah turun sebesar 15%.
"Oleh karena itu, aksi jual saham mendatang akan memberikan titik masuk yang lebih menarik untuk mengumpulkan pilihan utama kami: BBRI, BRIS, ANTM, ADHI, CTRA, dan GOTO," imbau dia.
Dia menjelaskan kekuatan ekonomi domestik akan membuatnya tidak terlalu rentan terhadap guncangan perdagangan global, dan pemulihan pasar keuangan berbentuk V (V-shaped market rebound) akan segera terjadi karena dukungan likuiditas global.
Satria berpendapat, ketika ETF (Exchange-Traded Fund) ekuitas Indonesia telah turun hingga -10% dalam sepekan saat pasar saham domestik tutup, hampir dapat dipastikan bahwa 'pemutus arus' akan terpicu saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka untuk pertama kalinya usai libur panjang Idulfitri, pada Selasa (8/4/2025).
"Namun, ada kemungkinan pembeli institusional asing dan lokal akan muncul, dengan tingkat uang tunai yang sudah tinggi karena penjualan ekuitas telah meningkat sebelum liburan panjang Idulfitri," ujar Satria.
Bagi Indonesia, ekspor AS hanya mencakup 2% dari produk domestik bruto (PDB). Paparan makro terkecil di Asia Tenggara, dibanding Thailand yang mencapai 11%, dan Malaysia 10%.
Produk Indonesia akan dikenakan pajak sebesar 32% oleh AS. Namun, ini tetap menjadi salah satu tarif impor terendah di antara pusat-pusat tenaga kerja murah, dengan bea masuk hampir 37%-49% diterapkan ke Banglades, Kamboja, Tiongkok, Sri Lanka, dan Vietnam — pesaing Indonesia untuk menarik investasi langsung asing.
"Mengingat paparan perdagangan globalnya yang minimal, Indonesia sebenarnya berada di zona "Goldilocks" di tengah harga minyak yang lebih rendah, penurunan suku bunga global, dan latar belakang makro yang didorong domestik," papar Satria.
Dalam 3 hari terakhir, pertumpahan darah pasar ekuitas paling parah terjadi di negara-negara yang sangat terpapar pada perdagangan global seperti Hong Kong, Jepang, Singapura, Taiwan. Tolak ukur ekuitas di negara berkembang yang didorong domestik, seperti India dan Malaysia, menurut dia, sebenarnya unggul dengan penurunan kurang dari 8%.
(lav)

































