Sementara bagi Malaysia, Thailand dan Singapura di mana sumbangan ekspor ke AS menyumbang 8%-12% dari PDB, juga akan terpukul kebijakan tarif tersebut.
Dengan asumsi pengenaan tarif resiprokal sebesar 36% saja, tanpa adanya tarif retaliasi, ekspor negara-negara ASEAN ke AS bisa anjlok hingga 73%.
"Hal itu menunjukkan risiko penurunan yang besar terhadap Produk Domestik Bruto kawasan tersebut pada tahun 2030 yaitu sebesar 8,9% bagi Vietnam, lalu 4% bagi Thailand dan 3,6% bagi Malaysia serta 1% bagi Indonesia," kata Tamara.
Selena Ling, Head of Research OCBC, salah satu bank terbesar di Singapura, juga memperkirakan hal senada. Dampak perang tarif AS pada ASEAN kali ini akan lebih terasa.
"Mengingat kesenjangan tarif yang lebih sempit antara Tiongkok dan tujuan-tujuan populer sebelumnya seperti Vietnam dan Thailand, strategi Tiongkok menyalurkan ekspor melalui ASEAN mungkin kurang efektif sekarang. Akibatnya, dinamika perdagangan mungkin berubah lagi," jelas Ling, dilansir dari Bloomberg News.
Vietnam akan jadi yang merasakan dampak terburuk, disusul oleh Thailand. "Sedangkan Indonesia dan India akan lebih terisolasi [dampaknya] disusul Filipina dengan dampak paling minimal," kata Ling.
Surplus dagang RI bakal anjlok
Penerapan tarif Trump ke Indonesia hingga 32%, yang pasti akan berdampak signifikan pada neraca pembayaran Indonesia dan fundamental rupiah dalam jangka panjang, menurut Bahana Sekuritas.
AS sejauh ini adalah penyumbang suplai dolar terbesar dalam nilai surplus dagang Indonesia pada 2024. Sumbangannya mencapai US$ 16,8 miliar. Nilai surplus dagang RI ke AS itu menjadi yang terbesar dibanding ke negara-negara lain seperti India (US$ 15,4 miliar), Filipina (US$ 8,8 miliar).
Sementara terhadap negara mitra dagang utama lain seperti Tiongkok, Indonesia masih mencatat defisit neraca dagang sebesar US$ 11,4 miliar, bersama dengan Australia yang mencatat defisit US$ 4,7 miliar dan Thailand US$ 3,8 miliar.
"Perhitungan kami, penerapan tarif Trump bisa memperkecil nilai surplus dagang RI menjadi US$ 700 juta sampai US$ 900 juta saja dari sekitar US$ 3 miliar saat ini. Sebagai konsekuensi, itu akan memperlebar defisit transaksi berjalan RI tahun ini menjadi 0,9% dari PDB," kata Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan Analyst Lintang. Penurunan itu setara dengan lebih dari 76% nilai surplus saat ini.
Di sisi lain, apabila negara-negara yang disasar oleh tarif Trump mengenakan tarif balasan, hal itu akan berakibat lebih buruk bagi Indonesia. Ekspor RI bisa terdampak akibat pelemahan permintaan global secara keseluruhan.
Pelonggaran moneter
Kebijakan tarif Trump telah menuai banyak respons keras dari negara-negara yang tak terima dengan tindakan tersebut. Bagi negara di kawasan Asia Tenggara, tarif Trump itu menjadi pukulan ganda yang menyakitkan di kala perekonomian ASEAN masih berjuang mengatasi kelesuan pertumbuhan dan inflasi yang tinggi, serta ancaman nilai tukar.
Ekonom di Goldman Sachs Group Inc., sebelumnya telah memangkas prediksi pertumbuhan untuk Asia dan memperkirakan akan ada respons kebijakan moneter yang lebih longgar di India, Korea Selatan juga Indonesia dan Malaysia.
OCBC memperkirakan akan ada pemangkasan 50 basis poin bunga acuan di negara-negara ASEAN.
Head of Research untuk Asia dari Morgan Stanley Chetan Ahya menambahkan, ia memperkirakan akan ada pemangkasan tambahan untuk tingkat bunga di ASEAN antara 50-100 basis poin. Namun, ia khawatir tentang kapasitas kebijakan fiskal di negara ASEAN bisa mendukung pelonggaran moneter.
"Besarnya pelonggaran di Asia mungkin lebih moderat dalam siklus ini mengingat ruang fiskal yang lebih terbatas akibat rasio utang publik terhadap PDB yang lebih tinggi. Maka itu, kami perkirakan pelonggaran moneter yang lebih besar ketimbang pelonggaran fiskal yang akan datang," kata Ahya.

Prospek pertumbuhan ekonomi yang makin redup akibat dampak pengenaan tarif, kemungkinan akan mendorong bank sentral melonggarkan moneter lebih besar ketimbang sebelum Trump menguasai Gedung Putih.
"Kebijakan sekarang lebih mungkin turun di bawah level netral pada akhir 2026 atau pada 2025," kata Tamara yang memperkirakan akan ada pemangkasan sekitar 25 basis poin.
Perlu dicermati, turbulensi global dengan perang dagang yang kian panas potensial memicu depresiasi lebih besar pada mata uang, termasuk rupiah.
Akan halnya Indonesia, di mana mesin pertumbuhan terbesarnya adalah dari konsumsi domestik, seharusnya bisa mengatasi guncangan perdagangan dengan lebih baik.

Dalam pernyataan terbaru yang dirilis hari ini, Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan para menteri di Kabinet Merah Putih melakukan penyederhanaan dan penghapusan regulasi yang menghambat, khususnya terkait dengan hambatan non-tarif (non-tariff barrier).
"Presiden Prabowo telah menginstruksikan Kabinet Merah Putih untuk melakukan langkah strategis dan perbaikan struktural serta kebijakan deregulasi," sebagaimana dikutip melalui situs Kementerian Luar Negeri, Jumat (4/4/2025).
Pemerintah RI juga menyatakan, bersama Bank Indonesia, otoritas akan berupaya terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan memastikan likuiditas valas tetap terjaga agar tetap mendukung kebutuhan pelaku dunia usaha serta memelihara stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
(rui)