Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penerimaan perpajakan sebesar Rp240,4 triliun, menyusut Rp79,6 triliun atau 24,8% dibanding penerimaan perpajakan pada periode yang sama tahun lalu Rp320 triliun.
"Penerimaan perpajakan ini termasuk penerimaan pajak pada Februari 2025 yang sebesar Rp187,8 triliun," sebut Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kinerja dan Fakta Periode Februari 2025, Kamis (13/3/2025).
Angka penerimaan pajak merosot hingga Rp81,22 triliun atau 30,19% dibanding realisasi penerimaan pajak pada Februari 2024 sebesar Rp269,02 triliun. Sementara itu, realisasi penerimaan bea dan cukai Rp52,6 triliun, atau melemah tipis 2,13% dari Rp51,5 triliun.
"Kemudian, realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp76,4 triliun," ujar Sri Mulyani.
Adapun, target penerimaan pajak dalam APBN 2025 dipatok sebesar Rp2.490,9 triliun. Angka itu naik Rp181,1 juta atau 7,84% dibandingkan dengan Rp2.309,8 triliun pada APBN 2024.
Selain itu, Misbakhun menggarisbawahi selama ini produk ekspor Indonesia didominasi oleh produk tekstil, garmen, alas kaki, minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dan alat listrik di mana hampir semuanya merupakan industri padat tenaga kerja, terutama untuk tekstil, garmen dan alas kaki.
Sehingga industri tersebut akan mengalami tekanan karena harga mereka di pasar AS menjadi lebih mahal imbas terdampak tarif resiprokal baru tersebut. "Supaya mereka bisa bersaing dari sisi harga maka mereka juga harus makin efisien dalam struktur biaya produksinya untuk menjaga kelangsungan usaha mereka."
Pelemahan Rupiah
Misbakhun menilai dampak lainnya yang sangat serius adalah pada kinerja nilai tukar rupiah atas dolar AS karena harga barang di Negeri Paman Sam akan makin mahal sementara pendapatan pekerja masih tetap. Hal tersebut memicu kenaikan inflasi di AS yg saat ini masih relatif tinggi sejak Pandemi Covid-19 lalu.
"Ini mengakibatkan bank sentral AS Federal Reserves [The Fed] pasti akan menurunkan tingkat suku bunga mereka sebagai alat kontrol supaya inflasi inflasi bisa dikendalikan. Akibatnya, akan memicu ketidakpastian sehingga prediksi pertumbuhan ekonomi akan mengalami koreksi," ujarnya.
"Hal itu membuat kekhawatiran pada ketidakpastian baru di pasar uang sehingga akan memberikan tekanan koreksi negatif pada nilai tukar rupiah atas dollar AS."
(dhf)