Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kinerja neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar US$3,12 miliar pada Februari 2025, menurun US$380 juta secara bulanan.
Selain itu, Pendiri sekaligus Ekonom Senior dari Institute for Development Economics and Finance (Indef) Didin S. Damanhuri menilai tidak mustahil dalam beberapa waktu mendatang rupiah akan melampaui Rp17.000/US$.
"Akan terjadi depresiasi rupiah, yang saat ini pun sudah Rp16.700/US$," ujar Didin.
Di pasar offshore, rupiah tertekan di kisaran nyaris menyentuh Rp16.800/US$, tepatnya di Rp16.798/US$ pada pagi ini. Pergerakan rupiah di pasar forward biasanya berdampak pada volatilitas rupiah di pasar spot.
2. Ancaman PHK Massal
Dalam kaitan itu, Didin menilai pelemahan rupiah karena tarif Trump juga berpotensi menyebabkan banyak perusahaan besar melakukan PHK besar-besaran. Hal ini karena terdapat unsur biaya dolar AS dalam kegiatan operasionalnya.
"Sehingga bisa terancam pailit atau bangkrut dan dalam waktu dekat mereka kemungkinan memilih PHK sebagai upaya rasionalisasi korporasi," ujar Didin.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat terdapat 18.610 orang tenaga kerja terdampak PHK yang dilaporkan sepanjang Januari-Februari 2025.
3. Daya Saing Industri Turun
Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan tarif resiprokal 32% yang dikenakan kepada Indonesia akan menurunkan daya saing ekspor secara drastis, terutama pada sektor padat karya seperti tekstil, mebel, dan alas kaki.
Terlebih, produk-produk tersebut selama ini bergantung pada harga kompetitif di pasar AS. Tarif sebesar 32% akan menaikkan harga jual, mendorong pembeli berpaling ke negara lain dan memicu risiko PHK massal di dalam negeri.
Neraca dangang Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) tercatat masih mengalami surplus terbesar dibandingjkan dengan mitra dagang lainnya. Ini menunjukkan belum ada penerapan tarif yang signifikan terhadap produk-produk Indonesia yang di ekspor ke negara tersebut.
Neraca dagang Indonesia dengan AS sepanjang Februari 2025 mencapai US$1,57 miliar. Setelah AS, tiga besar mitra dagang dimana Indonesia mengalami surplus, India senilai US$1,27 miliar dan Filipina senilai US$753,3 juta.
"Komoditas penyumbang surplus Februari 2025, negara Amerika Serikat tentu surplus didorong mesin dan perlengkapan elektrik, pakaian dan asesoris (rajutan) dan alas kaki," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti, saat menyampaikan rilis neraca dagang Indonesia Februari 2025, Senin (17/3/2025).
4. Penerimaan Pajak Turun
Didin mengatakan, sederet dampak tersebut juga berisiko untuk mengarah kepada penerimaan pajak yang turun.
Sekadar catatan, negara selama ini mendapatkan penerimaan pajak berupa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 untuk wajib pajak orang pribadi hingga PPh Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
"Akan terjadi makin turunnya penerimaan pajak dari pemerintah yang terakhir ini pun sudah turun 30%," ujar Didin.
Realisasi pendapatan negara sampai Februari 2025 tercatat sebesar Rp316,9 triliun. Angka ini merosot Rp83,46 triliun atau 20,84% dibanding pendapatan negara pada periode yang sama tahun lalu, tepatnya Februari 2024 yang mencapai Rp400,36 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan realisasi pendapatan negara terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp240,4 triliun, menyusut Rp79,6 triliun atau 24,8% dibanding penerimaan perpajakan pada periode yang sama tahun lalu Rp320 triliun.
"Penerimaan perpajakan ini termasuk penerimaan pajak pada Februari 2025 yang sebesar Rp187,8 triliun," sebut Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kinerja dan Fakta Periode Februari 2025, Kamis (13/3/2025).
Angka penerimaan pajak merosot hingga Rp81,22 triliun atau 30,19% dibanding realisasi penerimaan pajak pada Februari 2024 sebesar Rp269,02 triliun. Sementara itu, realisasi penerimaan bea dan cukai Rp52,6 triliun, atau melemah tipis 2,13% dari Rp51,5 triliun.
"Kemudian, realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp76,4 triliun," ujar Sri Mulyani.
Sekadar catatan, target penerimaan pajak dalam APBN 2025 dipatok sebesar Rp2.490,9 triliun. Angka itu naik Rp181,1 juta atau 7,84% dibandingkan dengan Rp2.309,8 triliun pada APBN 2024.
5. IHSG Melemah
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) makin bergejolak dan cenderung melemah, terutama untuk emiten di beberapa sektor berorientasi ekspor.
"IHSG akan makin volatile dan cenderung melemah," ujar Wijayanto.
Indonesia keluar sebagai satu negara yang mendapatkan pengenaan tarif tambahan, menyusul posisi neraca dagang dengan AS yang tak seimbang. Ekspor RI ke Negeri Paman Sam lebih besar dibanding impornya. Alhasil, Trump pun mengenakan tarif tinggi hingga 32%.
Di ASEAN, hantaman tarif Trump jauh lebih dahsyat di mana Kamboja dikenakan tarif sampai 49%, Laos 48%, Vietnam 46%, laul Myanmar 46%.
Disusul oleh Thailand dikenakan tarif 36%, Indonesia 32%, Malaysia 24% dan Filipina serta Singapura masing-masing 17% dan 10%. Bila dirata-rata tarif AS ke negara-negara ASEAN dikenakan 36%. Trump mengatakan ia bisa menimbang untuk menurunkan tarif tersebut bila negara-negara yang ia kenakan tarif tinggi itu menghapus hambatan perdagangan mereka.
(dhf)