"Semakin banyak tarif berarti semakin banyak kecemasan dan ketidakpastian bagi bisnis dan konsumen Amerika," kata David French, Wakil Presiden Eksekutif National Retail Federation, pada Rabu. "Tarif adalah pajak yang dibayarkan oleh importir AS dan akan dibebankan kepada konsumen akhir."
Tarif ini semakin memperumit kondisi bagi industri sepatu, yang sebelumnya sudah harus menavigasi dampak perang dagang dengan China dan Meksiko. Nike bahkan telah memperkirakan margin keuntungannya akan turun tajam pada kuartal ini karena tarif AS terhadap produk dari kedua negara tersebut.
"Memindahkan rantai pasokan bukanlah solusi karena produksi sepatu performa tinggi memerlukan keterampilan khusus dan fasilitas tertentu," kata Poonam Goyal, analis di Bloomberg Intelligence. "Saya tidak melihat cara lain selain harga sepatu akan naik bagi konsumen."
Baik Nike maupun Adidas belum memberikan komentar resmi terkait tarif baru ini.
Tak hanya bagi Nike dan Adidas, Vietnam juga menjadi pusat produksi bagi perusahaan ritel besar seperti Fast Retailing Co (pemilik Uniqlo) dan Hennes & Mauritz AB (H&M). Menurut Asosiasi Tekstil dan Pakaian Vietnam, nilai ekspor tekstil Vietnam mencapai US$44 miliar pada tahun lalu, dengan AS sebagai pasar utamanya.
Pada periode pertama kepresidenan Trump, perusahaan-perusahaan sepatu dan pakaian berbondong-bondong memindahkan produksinya ke Vietnam karena tarif tinggi yang diberlakukan AS terhadap China. Vietnam menawarkan biaya tenaga kerja rendah, tenaga kerja terampil, serta infrastruktur transportasi yang memadai. Selain itu, negara ini juga memiliki perjanjian dagang dengan AS dan Uni Eropa, menjadikannya pilihan yang lebih stabil dibanding China yang lebih rentan terhadap konflik geopolitik.
Namun, ancaman tarif terhadap Vietnam sudah mulai terlihat sejak 2019, ketika Trump menyatakan bahwa negara tersebut "memanfaatkan AS lebih buruk dari China." Sejumlah pelobi industri ritel bahkan khawatir bahwa Trump akan menerapkan tarif terhadap Vietnam di bulan terakhir masa jabatan pertamanya.
Vietnam menjadi salah satu negara yang paling diuntungkan dari perang dagang AS-China, dengan industri alas kaki dan tekstilnya berkembang pesat. Kini, sektor ini menjadi salah satu ekspor utama Vietnam, dengan berbagai merek besar seperti Nike dan Adidas yang terhubung ke puluhan pabrik di negara tersebut. Saat ini, kurang dari 20% sepatu Nike dan Adidas masih diproduksi di China, menunjukkan bagaimana Vietnam telah menggantikan peran China sebagai pusat produksi utama.
Ekonomi Vietnam sendiri terus berkembang pesat, dengan pertumbuhan PDB mencapai 7,1% tahun lalu, melampaui proyeksi pemerintah dan analis Bloomberg.
Setelah Trump kembali menjabat sebagai presiden AS pada Januari lalu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio langsung mendorong pejabat senior Vietnam untuk mengatasi ketidakseimbangan perdagangan. Tahun lalu, Vietnam mencatat surplus perdagangan dengan AS sebesar US$123 miliar, menjadikannya negara dengan surplus terbesar ketiga setelah China dan Meksiko.
Sebagai upaya meredakan ketegangan dagang, Perdana Menteri Vietnam Pham Minh Chinh mengatakan pada Januari lalu bahwa ia bersedia bertemu Trump di Mar-a-Lago untuk "bermain golf sepanjang hari" jika itu bisa membantu menyelesaikan perselisihan perdagangan. Sejak saat itu, Vietnam mulai melunak dengan menurunkan tarif terhadap mobil AS, etanol, dan gas alam cair sebagai langkah untuk menenangkan pemerintahan Trump.
Namun, dengan kebijakan tarif baru ini, masa depan industri manufaktur di Vietnam kembali menghadapi ketidakpastian besar.
(bbn)