Namun, pos pendapatan lain-lain naik 2,63% secara tahunan menjadi Rp148,19 miliar.
Meski kontribusinya kecil, beban lain-lain ACES juga turun 24,30% secara tahunan menjadi Rp4,89 miliar.
Alhasil, ACES mampu mencatat kenaikan laba usaha 15,86% secara tahunan menjadi Rp1,17 triliun, yang mana kenaikan ini juga mempengaruhi perolehan laba bersih ACES.
Dalam keterangan resminya, Direktur ACES Gregory S. Widjaja mengatakan, pencapaian kinerja keuangan perusahaan merupakan hasil langkah strategis peluncuran AZKO.
"Ke depan, kami akan terus memperkuat ekosistem ritel yang terintegrasi dan memperluas jangkauan ke lebih banyak wilayah di Indonesia, baik secara fisik maupun omnichannel. Kami optimis tahun ini akan menjadi momentum pertumbuhan yang lebih besar, menciptakan peluang baru, mendorong inovasi yang lebih luas, dan memberikan dampak positif yang berkelanjutan bagi masyarakat,” jelas Gregory.
Dibayangi Penurunan Daya Beli
Meski positif sepanjang 2024, penjualan ACES sepanjang dua bulan pertama tahun ini mengalami sedikit tekanan.
Penjualan ACES di Februari hanya mencapai Rp599 miliar, turun tipis 0,3% secara tahunan (year-on-year/yoy) dan anjlok 17,6% dibandingkan bulan sebelumnya (month-on-month/mom).
Faktor utama yang memicu pelemahan ini adalah rendahnya konsumsi masyarakat, dengan banyak konsumen menunda pembelian dan menunggu momentum belanja saat Ramadan demi mendapatkan penawaran yang lebih menarik.
“Daya beli masyarakat yang masih lemah menjadi tantangan utama bagi sektor ritel. Kami melihat konsumen lebih selektif dalam membelanjakan uang mereka, terutama menjelang Ramadan,” seperti dikutip dari riset Bahana Sekuritas.
Meski demikian, secara kumulatif sejak awal tahun, total penjualan ACES mencapai Rp1,3 triliun, tumbuh 4,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Kinerja Januari yang cukup kuat berhasil menahan dampak negatif dari pelemahan Februari. Namun, dengan kondisi ekonomi yang belum stabil, Bahana Sekuritas menurunkan proyeksi pertumbuhan penjualan ACES untuk 2025 dan 2026 masing-masing sebesar 3,1% dan 5,7%.
Selain pelemahan penjualan, ACES juga mengalami penurunan Same Store Sales Growth (SSSG) sebesar -6,6% pada Februari 2025, setelah lebih dari dua tahun mengalami pertumbuhan positif. Koreksi terbesar terjadi di luar Jakarta, dengan SSSG di Jawa (di luar Jakarta) anjlok -8,1%, diikuti oleh Jakarta (-7,8%), sementara wilayah luar Jawa relatif lebih resilient dengan penurunan -4%.
Secara kumulatif sepanjang dua bulan pertama 2025, SSSG ACES di Jakarta mencapai -3,9%, diikuti wilayah Jawa di luar Jakarta (-3,2%). Satu-satunya wilayah yang masih mencatatkan pertumbuhan positif adalah luar Jawa dengan SSSG sebesar 2,4%.
Dengan dasar perbandingan yang tinggi pada Maret 2024, di mana SSSG tercatat 19,9%, Bahana Sekuritas memperkirakan pemulihan ACES masih akan terbatas. Terlebih, pola belanja masyarakat selama Ramadan tahun ini diprediksi tetap tertekan akibat faktor ekonomi makro.
Di tengah tantangan tersebut, ACES tetap melanjutkan strategi ekspansi dan rebranding ke AZKO. Hingga Maret 2025, perusahaan telah membuka tiga gerai baru, termasuk debutnya di Papua dengan pembukaan toko di Matoa Square, Abepura. Langkah ini merupakan bagian dari strategi untuk meningkatkan profitabilitas dengan memperluas cakupan ke wilayah luar Jawa yang memiliki biaya operasional lebih rendah.
Meski demikian, Bahana Sekuritas menilai dampak rebranding ACES ke AZKO masih perlu waktu untuk dapat diterima oleh konsumen dan pasar. Hal ini berpotensi menjadi faktor tambahan yang mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan ke depan.
Melihat kondisi ekonomi yang masih penuh ketidakpastian serta hasil penjualan yang lebih lemah dari perkiraan, Bahana Sekuritas menurunkan rekomendasi saham ACES dari "Buy" menjadi "Hold." Target harga saham pun direvisi ke Rp670 per lembar, turun dari target sebelumnya Rp900.
“Kami menurunkan proyeksi pertumbuhan pendapatan ACES menjadi 9,2% untuk 2025 dari sebelumnya 12,7%. Perubahan ini mempertimbangkan faktor makroekonomi yang masih menekan daya beli masyarakat.”
Ke depan, risiko utama bagi saham ACES adalah lemahnya konsumsi domestik, reaksi negatif terhadap rebranding, serta dampak faktor eksternal seperti inflasi dan kebijakan moneter. Investor disarankan untuk tetap mencermati perkembangan pasar sebelum mengambil keputusan investasi.
Dengan kondisi saat ini, sektor ritel diprediksi masih akan mengalami tekanan hingga pertengahan 2025, sebelum adanya potensi pemulihan yang lebih jelas di paruh kedua tahun ini.
(red)





























