Katia Dmitrieva dan James Mayger - Bloomberg News
Bloomberg, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menerapkan kebijakan tarif timbal balik yang menjadi tantangan besar bagi perekonomian Asia. Kawasan ini selama puluhan tahun bertumpu pada ekspor ke AS dan sistem perdagangan global dengan hambatan rendah.
Sejak kembali menjabat, Trump menargetkan China dengan mengenakan tarif 20% pada impor dari negara tersebut, menandai dimulainya kembali perang dagang yang sempat terjadi di masa kepemimpinan pertamanya. Kali ini, ia juga menuding Vietnam, Korea Selatan, Jepang, dan India menerapkan tarif tinggi atau memiliki surplus perdagangan yang tidak seimbang dengan AS—atau keduanya sekaligus.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyatakan pada Maret bahwa kebijakan tarif timbal balik yang dijadwalkan mulai berlaku pada 2 April akan menyasar negara-negara yang disebut "Dirty 15" yang memiliki arus perdagangan dan hambatan tinggi terhadap AS.

Bessent tidak merinci negara mana saja yang masuk dalam daftar tersebut. Namun, menurut laporan Bloomberg Economics, ada 15 negara yang menyumbang lebih dari tiga perempat defisit perdagangan AS, dengan sembilan di antaranya berasal dari Asia. Ini berarti, meskipun tarif diberlakukan secara global, dampaknya akan terasa paling besar bagi perekonomian Asia yang bernilai US$41 triliun.
Sejak kembali ke Gedung Putih, Trump telah menargetkan Asia, Meksiko, Kanada, dan Uni Eropa dalam kebijakan proteksionismenya. Tarif impor baja sebesar 25% yang ia terapkan akan berdampak besar pada produsen baja Asia, mengingat enam dari 10 eksportir baja terbesar ke AS berasal dari Asia. Selain itu, kebijakan tarif 25% untuk impor mobil yang baru diberlakukan pekan lalu juga akan merugikan perusahaan otomotif seperti Hyundai Motor Co dari Korea Selatan dan Toyota Motor Corp dari Jepang.
Absennya pengecualian bagi sekutu AS, serta retorika keras Trump yang menunjukkan kesiapan menerima dampak ekonomi jangka pendek, telah mengguncang pasar global. Saat diwawancarai oleh NBC News, Trump bahkan dengan santai menanggapi potensi kenaikan harga mobil akibat kebijakan tarifnya.
"Saya tidak peduli," ujarnya.
Menurut Roland Rajah, ekonom utama di Lowy Institute, tambahan tarif timbal balik ini berpotensi mengancam model pertumbuhan ekonomi pasca-perang di Asia, yang sangat bergantung pada ekspor.
"Kali ini berbeda," ujar Rajah. "Krisis Asia 1998 atau krisis keuangan global satu dekade kemudian bersifat siklus atau keuangan. Tapi ini adalah guncangan struktural."
Dampak terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Menurut ekonom di Goldman Sachs Group Inc, kebijakan tarif ini dapat memangkas pertumbuhan ekonomi Asia hingga 1,3 poin persentase, mengingat ketergantungan kawasan ini pada ekspor langsung maupun tidak langsung ke AS.

Dengan ketergantungan yang tinggi terhadap perdagangan dengan AS, negara-negara Asia tidak memiliki banyak pilihan. Sejauh ini, sebagian besar pemimpin kawasan berusaha meredam kebijakan Trump dengan melakukan kunjungan ke Washington, menjanjikan peningkatan pembelian produk AS, serta menyoroti manfaat perdagangan bebas. Beberapa perusahaan bahkan mengumumkan investasi besar di AS, seperti ekspansi Hyundai Motor senilai US$21 miliar.
"Di setiap ibu kota Asia—dan di seluruh dunia—mereka mencoba memahami bagaimana menghadapi Trump: apa yang berhasil, apa yang tidak, dan apa yang bisa ditawarkan," ujar Wendy Cutler, Wakil Presiden Asia Society Policy Institute di Washington.
Cutler, yang pernah menghabiskan tiga dekade di Kantor Perwakilan Dagang AS, menyatakan bahwa negara-negara Asia kemungkinan enggan melakukan aksi balasan, mengingat ancaman Trump yang akan menaikkan tarif lebih tinggi bagi Kanada setelah negara tersebut berencana membalas kebijakan perdagangan AS.
"Dengan ketergantungan Asia yang lebih besar pada pertumbuhan berbasis ekspor dibanding kawasan lain, tarif ini dapat memberikan pukulan berat. Namun, pemerintah Asia lebih cenderung mengutamakan negosiasi perdagangan dan inisiatif pengurangan tarif ketimbang balas dendam terhadap Washington," ujar Chang Shu, Kepala Ekonom Asia di Bloomberg Economics.
Selain tarif baru, dampak lain yang dikhawatirkan adalah penurunan investasi di Asia akibat perusahaan-perusahaan yang menunda perekrutan dan ekspansi. Karena itu, bank sentral Asia kemungkinan akan memangkas suku bunga lebih agresif dibanding saat perang dagang 2018-2019, meski langkah tersebut tetap tidak dapat sepenuhnya menutupi dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, menurut ekonom Morgan Stanley yang dipimpin Chetan Ahya.
Sejumlah tanda perlambatan ekonomi mulai terlihat. Data manufaktur Februari menunjukkan penurunan pesanan ekspor baru di Indonesia dan Vietnam, dua negara yang sebelumnya diuntungkan dari perang dagang AS-China pada 2018-2019. Selain itu, aliran investasi saham dan obligasi ke pasar negara berkembang di Asia mencatatkan awal tahun terlemah sejak 2016, menurut Bank of America.

Menghadapi situasi ini, pemimpin Asia mulai mengambil langkah untuk mengurangi ketergantungan pada AS dan memperkuat ekonomi domestik.
"Jika kita memainkan kartu kita dengan cerdas dan lincah, kita bisa melewati ini," ujar Marty Natalegawa, mantan Menteri Luar Negeri Indonesia. "Kita tidak bisa menaruh semua harapan pada satu pihak—diversifikasi adalah kunci."
Di China, pemerintah semakin fokus mendorong konsumsi domestik. Presiden Xi Jinping berjanji akan membuka lebih banyak akses bagi perusahaan global dan menolak proteksionisme. Kebijakan pro-bisnis terbaru dari Beijing serta optimisme terhadap kemajuan kecerdasan buatan telah memicu reli saham China, meski ancaman tarif dari Trump terus membayangi.
"Kita harus bersama-sama menjaga sistem perdagangan bebas, mendukung regionalisme terbuka, dan dengan tegas menolak proteksionisme dalam perdagangan dan investasi," ujar Ding Xuexiang, pejabat peringkat keenam dalam hierarki Partai Komunis China, dalam pidatonya di Boao Forum pekan lalu.
Perjanjian perdagangan di Asia telah berkembang pesat, mencakup hampir setengah dari semua perjanjian perdagangan di dunia, termasuk Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), yang merupakan perjanjian perdagangan bebas terbesar di dunia.
'Menekan, Bukan Mencekik'
Meskipun dampak tarif baru masih harus dilihat lebih lanjut, ada indikasi bahwa tekanan dari Trump justru dapat mendorong penguatan hubungan dagang intra-Asia. Jepang dan China, misalnya, baru saja menggelar dialog ekonomi pertama mereka dalam enam tahun di Tokyo pada 22 Maret, meskipun prospek kerja sama regional untuk merespons tarif Trump masih belum jelas.
Menurut Louis Kuijs, Kepala Ekonom Asia-Pasifik di S&P Global Ratings, peningkatan permintaan domestik dan perdagangan antar-negara Asia dapat membantu kawasan ini mengurangi dampak negatif dari kebijakan tarif AS.
Dalam laporan prospek kuartal keduanya, Kuijs menyatakan bahwa tarif Trump "akan menekan, tetapi tidak akan mencekik" pertumbuhan ekonomi Asia.
Meski begitu, China tetap tidak bisa menggantikan AS sebagai sumber utama permintaan global. Nilai impor China dari Asia turun 1% dalam dua bulan pertama tahun ini, setelah mengalami kenaikan 3,7% tahun lalu.
Di sisi lain, Inu Manak, peneliti kebijakan perdagangan di Council on Foreign Relations di Washington, memperingatkan bahwa dampak terbesar dari kebijakan ini justru bisa dirasakan di AS sendiri.
"Yang paling saya khawatirkan adalah tekanan AS untuk memutus hubungan perdagangan dan investasi dengan China, yang akhirnya akan memaksa negara lain memilih di antara keduanya—dan China kemungkinan besar akan menjadi pilihan utama," ujar Manak.
(bbn)