Harapan untuk terobosan dalam negosiasi gencatan senjata masih tampak suram. Netanyahu pada Minggu kembali menegaskan bahwa Hamas harus melucuti senjata dan pemimpinnya harus meninggalkan Gaza, seraya berjanji akan terus menekan kelompok itu agar membebaskan 59 sandera yang tersisa, di mana 35 di antaranya diyakini telah tewas.
Tuntutan ini merupakan bagian dari revisi kesepakatan gencatan senjata tiga tahap yang sebelumnya disepakati pada Januari, dengan dukungan Presiden AS Donald Trump.
Dalam kesepakatan awal, setelah pembebasan kelompok pertama sandera setiap pekan, kedua pihak sepakat untuk memasuki tahap negosiasi berikutnya guna membahas penghentian perang secara permanen, pembebasan sandera yang tersisa, dan penarikan pasukan Israel dari Gaza.
Namun, Israel kini bersikeras bahwa Hamas harus membebaskan semua sandera tanpa jaminan penghentian perang. Hamas menolak tuntutan ini, sehingga Israel kembali membombardir Gaza dan menggerakkan pasukannya di dalam wilayah tersebut.
Pada Minggu, Netanyahu juga mengatakan bahwa Israel akan mendukung "rencana emigrasi sukarela" untuk warga Gaza yang diajukan oleh Trump. Sementara itu, kabinetnya menyepakati untuk terus menekan Hamas, yang mengklaim telah menyetujui proposal gencatan senjata baru dari mediator Mesir dan Qatar.
Sami Abu Zuhri, pejabat senior Hamas, menyebut pernyataan Netanyahu sebagai resep untuk "eskalasi tanpa akhir" di kawasan itu.
Netanyahu membantah tuduhan bahwa Israel menolak bernegosiasi. "Kami melakukannya di tengah pertempuran, dan itulah yang membuatnya efektif," katanya dalam pernyataan video pada Minggu.
Sementara itu, pemimpin Hamas di Gaza, Khalil al-Hayya, mengatakan kelompoknya telah menyetujui proposal yang, menurut sumber keamanan, mencakup pembebasan lima sandera Israel setiap pekan. Namun, ia menegaskan bahwa pelucutan senjata seperti yang dituntut Israel adalah "garis merah" yang tidak akan mereka lewati.
(del)