Tidak terasa, selama satu bulan lamanya, kita menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan berbagai ritual mulia di dalamnya, kita ditempa, sebagai instrumen untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Puasa Ramadan menempa kita menjadi hamba yang otentik yang tidak hanya berdimensi personal, namun juga dimensi sosial. Autentisitas seorang hamba di hadapan Allah dimanifestasikan melalui pikiran dan tindakan yang semata-mata diperuntukkan bagi kebaikan dan kemaslahatan.
Puasa tidak semata-mata menjadikan individu lebih baik, namun puasa juga mewujudkan tatanan sosial yang lebih maslahat.
Puasa akan melahirkan pribadi-pribadi yang menghargai proses penempaan, puasa akan membentuk pribadi, kelompok masyarakat, bahkan negara menjadi lebih baik. Hal ini akan menjadi modal spiritual dan sosial untuk melahirkan kebaikan kolektif yang berdampak positif di ruang publik.
Ruang publik yang baik akan berdampak pada keadaban publik yang menjunjung tinggi moralitas dengan didasarkan kepada keseimbangan dalam tata kelola kehidupan masyarakat.
Hal itu dapat kita lihat dalam amalan-amalan yang dilakukan selama Ramadan, seperti zakat, infak, dan sedekah dan praktik kedermawanan lainnya. Sikap kedermawanan kemudian menjadi instrumen afirmatif yang melahirkan dampak nyata pada aspek sosial ekonomi dan penegakan prinsip keadilan.
Kedermawanan dalam Islam memberikan pesan penting tentang spirit kebersamaan gotong royong keberpihakan hal ini sejalan dengan pemikiran para pendiri bangsa kita ketika merumuskan pendirian negara ini yakni dengan menitikberatkan pada tujuan bernegara di antaranya mewujudkan kesejahteraan umum.
Kedermawanan Islam juga memberi pesan tengang sikap empatik yang jadi instrumen penting selama bangun soliditas dan solidaritas antar-bernegara.
Data kuantitatif tentag capaian pengumpulan zakat di Indonesia terus tren peningkatan positif dari tahun ke tahun. Hal ini menguatkan posisi Indonesia sebagai negra paling dermawan di dunia berdasarkan laporan the World Giving Index.
Capaian kebaikan ini harus kita kelola dengan baik dan efektif sebagai manifestasi dari komitmen kita dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana pesan dalam sila kedua Pancasila, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab".
Keadaban publik sejatinya harus diikhtiarkan dan dimulai dari individu dan juga keluarga di Indonesia. Pelajaran selama bulan Ramadan mengajarkan kita untuk membangun kohesivitas di tengah-tengah masyarakat, yang dimulai dari hal-hal yang sederhana seperti buka puasa bersama, sahur bersama, tarawih bersama, dan juga tadarus bersama.
Pesan penting dari kegiatan rutin selama Ramadan adalah bahwa kohesivitas adalah "kata kerja" yang bukan sekadar "kata-kata", tetapi senantiasa harus diikhtiarkan secara sungguh-sungguh. Kebersamaan selama Ramadan sejatinya memberi makna penting bahwa keberkahan itu lahir dari kebersamaan, "Al-barakatu ma'a al- jama'ah".
Membangun Indonesia dibutuhkan persatuan seluruh elemen bangsa ini dengan tetap mengakui keragaman latar belakang dan pandangan yang secara sunnatullah memang diciptakan berbeda-beda.
Persatuan dibangun melalui percakapan dan dialog untuk mencari titik temu yang menjadi titik tumpu dalam mewujudkan kemajuan bangsa. Pelajaran dari para pendiri bangsa mengajarkan keteladanan, bahwa perbedaan pandangan tidak menjadikan diksi diametral yakni "kami" dan "mereka" tetapi tetap dalam bingkai "Kita Indonesia".
Kebiasaan baik dalam satu bulan selama Ramadan menjadi modal untuk meneruskan jejak kebaikan dari para pendiri bangsa dan para pendahulu untuk menggalang persatuan demi terwujudnya kebaikan bersama, mewujudkan al-mashalih al-amah.
Hal ini sejalan dengan Visi Pemerintah kita saat ini yang berkomitmen untuk memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan alam dan budaya, peningkatan toleransi antarumat beragama dalam rangka mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Oleh karena itu, tradisi baik selama Ramadan ini menjadi modal material penting dalam mewujudkan visi pemerintah untuk membangun harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bulan Ramadan juga menguatkan tradisi Tadarus al-Quran. Tidak sekadar membaca tapi juga menitikberatkan kepada aktivasi penggunaan akal pikiran dalam melihat setiap fenomena yang ada di sekitar kita. Budaya literasi selama rmaadan hrs diteruskan dan dikembangkan di lembaga pendidikan formal dan non-formal untuk mewujudkan kemajuan bangsa Indonesia dan menyongsong Indonesia Emas 2045.
Literasi menjadi kata kunci untuk meningkatkan kapasitas diri dengan pemanfaatan fasilitas digital yang semakin memudahkan kita saat ini. Literasi akan mempercepat akselerasi Indonesia untuk menjadi negara maju. Ruang publik kita harus dipandu dengan ilmu pengetahuan di tengah arus informasi yang kian sulit membedakan antara fakta dan fiksi.
Atribusi Ramadan sebagai bulan kemuliaan tidaklah bersifat taken for granted, tanpa ada ikhtiar yang sungguh-sungguh dari seorang hamba. Begitu pula, predikat kembali suci atau 'id al-fithr setelah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan juga bukan sekadar label tanpa makna.
Kembali fitri sejatinya terpancar pada pikiran, perilaku, dan tindakan setiap diri dalam interaksi seorang hamba dengan Tuhannya maupun antar sesama.
Pads titik paling ideal akan melahirkan kebaikan bagi lingkungan seperti halnya kebutuhan menghadirkan ruang publik bebas dari korupsi harus terus ikhtiarkan bersama. puasa ramadan mengajarkan kita untuk menahan diri dari hal-hal merusak atau membatalkan puasa maka spirit puasa sangat relevan dalam konteks mewujudkan kehidupan negara bebas dari korupsi.
Spirit kemabruran puasa harus menjadi pemandu atau kompas untuk mewujudkan relasi baik di privat atau publik. Sejatinya esensi Idulfitri.
Spirit empatik yang disemai ramadan tukbuh kembanfkan manifestasi spirirt filantropi islam. Tantangan kehidupan sosial ekonomi saat ini harus dijawab sikap empatik gerakan program bersama baik individu lembaga maupun negara.
Tanggung jawab ini harus kita pikul bersama-sama dengan semangat ta'awanu 'ala al-birri wa al-taqwa wa la ta'awanu 'ala al-itsmi wa al-'udwan. Spirit empatik semakin tumbuh dan berkembang setelah ibadah puasa Ramadan, bukan sebaliknya, kebaikan hanya muncul selama Ramadan saja, dan setelah itu absen. Esensi Idul Fitri tidak lain adalah menumbuhkembangkan spirit Ramadan dalam kehidupan.
Kembali fitri merupakan capaian setelah menjalankan ibadah puasa Ramadan sebagai manifestasi derajat ketakwaan seorang hamba. Kesucian seorang hamba pasca Ramadan tidak hanya berdimensi privasi dan transenden, namun kesucian seorang hamba juga termanifestasi melalui kemampuan untuk mengoreksi dan membenahi diri atas perilaku dan tindakan yang menyimpang dari aturan dan norma ilahi. Individu-individu fitri pada titik paling ideal, melahirkan kebaikan-kebaikan secara kolektif di ruang publik. Pada titik inilah, transformasi spirit empatik semestinya kian tumbuh berkembang pasca ramadan bukan hanya muncul ramdan setelah itu terlupakan.
Seyyed Hossen Nasr (2002: 197), dalam The Heart of Islam Enduring Values for Humanity, menegaskan bahwa doktrin Islam yang tertanam dalam batin masyarakat Islam secara ideal dapat bertahan menghadapi tantangan-tantangan besar di era modern.
Dengan demikian maka kedudukan agama yang didasari keyakinan terhadap Tuhan dapat menjadi instrumen dan mekanisme ampuh merespon setiap tantangan zaman.
Agama yang memiliki dimensi profan sekaligus transenden harus ditransformasikan dan dikontekstualisasikan untuk menjawab pelbagai persoalan di tengah masyarakat.
Transformasi beragama menjadi pekerjaan rumah seluruh pemangku kepentingan, balk birokrat, agamawan, ilmuwan, maupun pemuka agama.
Upaya ini dimaksudkan untuk mewujudkan keadaban personal yang dimanifestasikan dalam bentuk ritualitas berjalan linier dengan keadaban di ruang publik.
Pada akhirnya, kembali ke fitri harus kita ikhtiarkan untuk menghadirkan kebaikan di ruang publik. kemabruran puasa ramadan tidak hanya jadikan individu soleh tetapi yang lebih penting moralitas ramdana akan hadirkan kesalehan kehidupan bermasyarakat bernegara.
Harapan terwujudnya baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur negeri yang makmur dan diberkahi harus kita perjuangkan secara kontinu, konsisten, dan bersungguh-sungguh dengan spirit menghadirkan kebaikan bersama.
Sungguh indah penggalan syair "Lebaran" dari "Sang Legenda", Ismail Marzuki:
Setelah berpuasa satu bulan lamanya; Berzakat fitrah menurut perintah agama; Kini kita beridul fitri berbahagia; Mari kita berlebaran bersuka gembira; Berjabat tangan sambil bermaaf-maafan; Hilang dendam habis marah di hari lebaran; Minal 'aidin wal faizin; Maafkan lahir dan batin; Selamat para pemimpin; Rakyatnya makmur terjamin.
Insya Allah spirit kemamburan selama Ramadan seiring dengan tibanya Hari Raya Idulfitri akan menerangi negeri ini, Indonesia tercinta akan tetap diterangi dengan kebaikan kemuliaan dan kesejahteraan dengan ikhtiar yang dilakukan secara bersama-sama dan di perjuangan secara bersama mewujudkan Indonesia maju sejahtera dalam naungan ridho Allah SWT.
(dov/spt)