Jutaan orang lain membeli AC dengan harga murah sebagai solusi tercepat mengatasi iklim bumi yang panas. Hal ini membuat cita-cita transisi energi semakin sulit, pasalnya semakin banyak AC tentu menambah beban pasokan listrik. Alhasil, upaya mengubah sumber generator listrik dari berbahan bakar fosil menuju energi terbarukan akan terancam.
Menurut badan energi internasional atau International Energy Agency (IEA) mesin pendingin menjadi “salah satu pendorong utama permintaan pasokan listrik dunia selama 30 tahn ke depan,” dalam laporannya tahun 2018. IEA kemudian memperkirakan akan ada 10 AC akan terjual setiap detik mulai saat ini hingga tahun 2050.
Saat ini, kipas angin, AC, dehumidifiers membebani lebih dari 2.000 terawatt hours (TWh) listrik setiap tahun. Angka ini setara 2,5 kali lipat dari total pemakaian listrik di seluruh Afrika, masih berdasarkan laporan IEA.
Diestimasi angka kebutuhan listrik untuk mesin pendingin pada 2050 mencapai 6.200 TWh. 70% dari itu semua dikontribusikan oleh AC yang terpasang di rumah-rumah.
Kini mesin pendingin menghabiskan lebih dari ⅔ kebutuhan listrik puncak pada periode terpanas di beberapa negara bagian Amerika Serikat (AS) dan kawasan Timur Tengah. Di Arab Saudi, contohnya, AC menyedot 70% dari total permintaan listrik secara tahunan.
Negara seperti India, China, dan Indonesia diprediksi akan mengalami lonjakan permintaan AC hingga perlu memasang daya lebih besar. Pasokan listrik untuk AC perlu diantisipasi.
AC ruangan juga diperkirakan akan jadi piranti utama pada gedung-gedung di dunia pada 2050. Untuk itu dibutuhkan daya tambahan 2.500 gigawatt (GW) atau setara total daya listrik di AS, Eropa, dan India, hari ini, masih menurut IEA.
Tantangan atas efisiensi
Kerapkali masyarakat hanya berfokus pada harga AC yang terjangkau demi memenuhi kebutuhan akan kesejukan. Menurut IEA, sepanjang 2018 rata-rata AC yang terjual kurang atau cukup efisien, atau sepertiganya dikategorikan efisien, berdasarkan teknologi.
Kebijakan memberi insentif kepada warga agar membeli AC yang hemat daya akan mengurangi permintaan listrik sekitar 45%, juga mengurangi biaya investasi dan operasional jaringan pembangkit US$3 triliun.
Jika menggunakan asumsi paling optimis, dimana seluruh AC menyematkan teknologi hemat daya, kebutuhan listrik yang dibutuhkan juga akan besar. Sementara panas bumi kini telah naik kurang dari 2 derajat, dalam laporan University of Birmingham.
Berdasarkan Centre for Sustainable Cooling, jika semua warga di dunia dapat mengakses mesin pendingin, mulai dari kulas, AC baik untuk rumah dan kendaraan, maka permintaan listrik naik tiga kali lipat dari perkiraan IEA semula, pada tahun 2030.
Centre for Sustainable Cooling memprediksi untuk memenuhi seluruh kebutuhan warga dunia dibutuhkan 14 miliar mesin pendingin tambahan pada 2050. Jumlah ini empat kali lipat dari total yang ada saat ini,3,6 miliar mesin pendingin. Dengan angka tersebut, kebutuhan energi terbarukan juga naik 80% lebih dari proyeksi awal IEA untuk 2050.
(bbn)