Target moderat tersebut dipatok dengan dalih rerata harga komoditas pertambangan dunia masih bergerak dalam tren bearish. Hal tersebut telak akan memengaruhi setoran PNBP, kendati tarif royalti minerba dikebut untuk naik.

Pada 2024, realisasi setoran sektor minerba yang mencapai Rp140,5 triliun itu menyumbang 46,79% dari setoran PNBP tahun lalu. Pun demikian, realisasi tersebut sebenarnya terpelanting cukup jauh dari capaian 2023 yang menembus Rp172,1 triliun dan 2022 yang mencapai Rp180,4 triliun.
Dengan demikian, target dan realisasi setoran PNBP dari sektor pertambangan terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menyatakan perusahaan akan menghormati kebijakan pemerintah, meskipun sederet tantangan sudah sering diteriakkan oleh sejumlah asosiasi sektor minerba.
Dampak Negatif
Penyesuaian tarif royalti, jika dipaksakan dalam waktu dekat, dipastikan cenderung akan berdampak negatif bagi sejumlah perusahaan komoditas minerba. Dengan adanya kenaikan tarif royalti, perusahaan akan menghitung ulang dampaknya bagi masing-masing kegiatan operasional dan investasi.
“Cuma besaran dampak ya tentu beda-beda satu sama lain. Biaya produksi kan beda-beda, beban pajak/PNBP perusahaan juga tidak semua sama, skala operasi juga beda-beda,” kata Hendra saat dihubungi, Sabtu (29/3/2025).
“Setiap persen kenaikan ya pasti akan langsung pengaruh tambahan ke biaya operasional sekian persen dan mengurangi profitabilitas sekian persen.”
Menurut data yang dimiliki asosiasi, kenaikan tarif royalti nantinya akan berdampak terhadap sekitar 1.500 perusahaan sektor pertambangan.
“Saya enggak ingat persisnya. Kalau perusahaan yang mengajukan RKAB [rencana kerja anggaran dan biaya] 2024 kalau enggak salah perusahaan mineral lebih dari 700 dan batu bara lebih dari 800,” ujarnya.
Tartif Tertinggi
Mengutip kajian dari lembaga konsultan PricewaterhouseCoopers (PwC) yang direkapitulasi IMA, Hendra mencontohkan tarif royalti komoditas pertambangan di Indonesia lebih tinggi dari beberapa negara produssen lainnya.
Dalam PP No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tarif royalti bijih tembaga, konsentrat tembaga, dan katoda tembaga—misalnya — masing-masing ditetapkan sebesar 5%, 4%, dan 2% dengan sistem single tariff.
Kementerian ESDM lantas mengusulkan penyesuaian royalti tembaga dan turunannya itu dengan menggunakan sistem tarif progresif, yaitu; bijih antara 10%—17%, konsentrat 7%—8%, dan katoda 4%—6%.
Sebagai perbandingan, Hendra mengatakan, tarif royalti tembaga di negara lain seperti Filipina hanya sebesar 4%; Australia 2,5%—7,5%; Kanada 1%—17% (dari penghasilan bersih); dan Brasil 2%.
Tidak hanya tembaga, tarif royalti emas di Indonesia juga dinilai lebih tinggi dari negara produsen lainnya. Royalti emas akan dikenai tarif progresif 7%—16% menyesuaikan harga mineral acuan (HMA), dari sebelumnya hanya 3,75%—10%.
Hendra memaparkan tarif royalti emas di Filipina hanya 4%; Australia 2,5%—5%; Kanada 1%—17% (dari penghasilan bersih); dan Brasil 1,5%.

Selain itu, dia mengatakan tarif royalti bagi komoditas nikel yang berlaku saat ini dan tarif baru yang akan ditetapkan oleh pemerintah juga tidak kompetitif dibandingkan dengan negara-negara produsen nikel lainnya.
Filipina mematok tarif progresif bijih nikel antara 5%—7% dan produk nikel sebesar 2%, sedangkan tarif yang berlaku di Australia adalah 5%—7.5% untuk bijih dan 2%—5% untuk produk nikel.
Di sisi lain, New Caledonia mengenakan tarif royalti sebesar 10%—15% untuk bijih nikel, Kanada 5%—13% (basis profit) dan 4%—6% untukk produk nikel, serta Brasil 2%—5% untuk bijih nikel dan 1%—3% untuk derivatifnya.
Adapun, di Indonesia, pemerintah mengusulkan bijih nikel dikenai tarif progresif mulai 14%—19% menyesuaikan HMA, setelah sebelumnya diberikan sistem single tariff bijih nikel hanya sebesar 10%.
Untuk produk turunan nikel, tarif progresif diusulkan naik 4,5%—6,5% untuk nickel matte, sementara tarif windfall profit dihapus. Sebelumnya, berlaku single tariff 2% dan windfall profit bertambah 1% untuk produk nickel matte.
Feronikel juga akan dikenai tarif progresif naik mulai 5%—7% menyesuaikan HMA. Sebelumnya berlaku single tariff hanya sebesar 2%. Sementara itu, nickel pig iron juga akan diganjar tarif royalti progresif mulai 5%—7%, dari sebelumnya single tariff sebesar 5%.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Tri Winarno pun tidak menampik tarif royalti untuk beberapa komoditas pertambangan di Indonesia memang lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain. Akan tetapi, dia mengeklaim biaya atau cost pertambangan di Tanah Air justru lebih rendah.
“Ya silakan dicek. Silakan dicek. Negara kita kebetulan kan cash flow-nya rendah ya dibandingkan dengan negara lain. Jangan selalu [membanding-bandingkan]. Ini negara kita lagi mau membangun, butuh [tambahan setoran penerimaan royalti] dan lain sebagainya,” ujarnya ditemui di kantor Kementerian ESDM, Senin (24/3/2025).
“Mari bareng-bareng dukung. Kalau misalnya isunya negara kita royaltinya terlalu tinggi. Loh, kita 40% lebih rendah cost-nya. Wajar-wajar [saja]. Kalau yang di Australia ini kan pemilik tanah yang di dalamnya. Ini kan beda.”

Beban Penambang
Berbeda pandangan, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) beberapa kali menyuarakan bahwa penambang di Indonesia saat ini telah banyak menanggung biaya operasi tambang yang makin meningkat signifikan, sementara harga nikel terus menurun sehingga margin perusahaan makin tergerus.
Tingginya beban yang ditanggung penambang, di antaranya disebabkan oleh kenaikan biaya biodiesel B40 yang signifikan, kenaikan upah minimum regional (UMR) minimal 6,5%, kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% yang membuat harga alat berat makin mahal, serta pengenaan kewajiban retensi dana hasil ekspor (DHE) sebesar 100% selama 12 bulan.
Selain itu, adanya penerapan global minimum tax (GMT) sebesar 15%, iuran tetap tahunan, serta pajak bumi bangunan (PBB) on shore dan tubuh bumi.
Di sisi lain, penambang juga memiliki kewajiban reklamasi pascatambang, iuran penerimaan negara bukan pajak penggunaan kawasan hutan (PNBP PPKH), kewajiban rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), program pemberdayaan masyarakat (PPM), dan investasi besar untuk membangun smelter.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey menuturkan tingginya kalkulasi biaya produksi imbas rencana kenaikan tarif royalti tersebut membuat pemegang izin usaha pertambangan (IUP) nikel memilih berhenti beroperasi.
Dalam revisi yang diusulkan Kementerian ESDM, besaran kenaikan tarif royalti bijih nikel direncanakan naik dari sebelumnya single tariff 10% menjadi tarif progresif mulai 14% hingga 19%.
"Kalau penerapan royalti 14%, ada beberapa IUP yang [berpotensi] sudahlah tutup saja, daripada produksi, rugi," kata Meidy dalam agenda diskusi Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan, belum lama ini.
"Kalau ditetapkan royalti 14% saja, kalau 19% gimana ya? Apa tutup [tambang] ya? [Tarif] 14% saja, itu dia sudah minus. Artinya rugi."
Selain penutupan operasional, APNI juga memandang kenaikan tarif royalti memicu PHK massal akibat margin pengusaha tambang yang makin tergencet.
“Memicu PHK massal akibat tekanan margin, terutama di sektor hilir yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, Meidy menyebut kenaikan royalti juga dapat mengurangi minat investasi di sektor hulu hingga hilir pertambangan mineral, khususnya nikel, serta menurunkan daya saing produk nikel Indonesia di pasar global.
Tidak Sebanding
Terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar berpendapat, tambahan penerimaan negara yang akan didapatkan dari kenaikan royalti tidak akan sebanding dengan dampak dan risiko yang akan ditanggung kalangan penambang.

Risiko itu memungkinkan sebagian pelaku usaha akan menurunkan produksi bahkan bisa berhenti operasi. Artinya, jika kondisi itu terjadi justru tidak baik bagi perekonomian di Tanah Air.
Bagaimanapun, Bisman mendukung langkah pemerintah untuk meningkatkan sumber pendapatan dari sektor pertambangan maupun energi. Akan tetapi, tidak dengan cara menaikkan royalti saat ini.
“Upaya itu bisa dengan memperbaiki tata kelola, memberantas illegal mining dan menutup kebocoran yang mungkin terjadi,” jelas Bisman saat dihubungi.
Jika pemerintah tetap berkeras menaikkan tarif royalti, mau tidak mau penambang harus menjalankan dan menyesuaikan kelangsungan usaha dari aspek operasional, mengambil langkah efisiensi, menghitung ulang rencana investasi, serta pengembangan usaha.
Walhasil, nasib industri pertambangan yang selama ini menjadi tulang punggung setoran PNBP kini justru tersandera ambisi pemerintah untuk mengerek penerimaan lebih tinggi dari sektor tersebut.
(wdh)