Mengacu data otoritas yang dikompilasi oleh Bloomberg, selama pekan pendek lalu, asing membukukan net buy senilai Rp3,24 triliun. Ini menjadi net buy mingguan pertama oleh investor asing sejak terakhir terjadi pada pekan yang berakhir pada 17 Januari lalu.
Kembalinya asing berbelanja saham, terutama di saham-saham perbankan besar, terangkat sentimen dividen; juga saham-saham yang mengantongi rencana buyback besar-besaran, memberikan optimisme: Apakah badai yang mengguncang bursa saham domestik hingga sempat menjatuhkan IHSG ke level terendah sejak periode krisis akibat pandemi silam, benar-benar sudah berlalu?

Bila melacak lagi ke belakang, investor asing telah membukukan posisi net sell senilai US$ 1,82 miliar year-to-date atau sekitar Rp30,14 triliun sepanjang tahun ini. Hengkang asing dari bursa saham RI, terutama karena ada banyak sentimen negatif dari dalam negeri.
Yaitu mulai dari isu di seputar pembentukan Badan Pengelola Investasi Danantara, ketidakpastian prospek fiskal di tengah bejibun kebijakan populis Presiden Prabowo ketika tren pendapatan negara melemah, pelemahan daya beli masyarakat yang mengancam kinerja korporasi, spekulasi mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani, sampai peningkatan risiko politik menyusul besarnya penolakan publik akan pengesahan UU TNI.
Dari berbagai isu itu, belum semuanya 'berakhir'. Spekulasi pengunduran diri Sri Mulyani memang sudah ditepis. Begitu juga pengumuman pengurus Danantara yang dinilai cukup melegakan karena didominasi profesional di industri keuangan ketimbang sosok-sosok partisan.
Dalam pandangan Bahana Sekuritas, ketidakpastian politik terkait Danantara sejatinya sudah berakhir. "Dari 18 nama managing director, semua profesional dan tidak memiliki afiliasi politik," ujar Kepala Riset Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dalam risetnya, pekan lalu.
Menurut Satria, profesionalisme para pemimpin Danantara seharusnya menghilangkan ketidakpastian politik yang melanda bursa saham RI, dengan IHSG yang telah turun sebesar 22,7% dari puncaknya di bulan September.
"Karena pasar bekerja berdasarkan ekspektasi, kami percaya perkembangan Danantara ditambah bank-bank BUMN berkapitalisasi besar memiliki dampak netral cenderung positif, sehingga seharusnya cukup untuk memicu reli taktis di bursa saham RI."
Hanya, sebagian para pelaku pasar cenderung menilai akan terlalu dini menganggap sentimen Danantara sebagai pengungkit IHSG.

Managing Director Research & Digital Production Samuel Sekuritas Harry Su menilai, di atas kertas, nama-nama pengurus Danantara yang baru diumumkan memang tampak bagus dan memicu IHSG bangkit dari titik terendahnya.
"Namun, bagi kami, topik yang paling penting tetap tata kelola. Itulah sebabnya kami harus menunggu hingga akhir tahun ini untuk mengamati apakah Danantara akan benar-benar bebas dari campur tangan politik dalam pengambilan keputusannya," kata Harry, dikutip Rabu (26/3/2025).
Hal itu mengingat Danantara akan menjadi cash rich, dengan semua dividen masuk ke kas Danantara selama beberapa minggu ke depan. Pertanyaan berikutnya, lanjut Harry, apa yang akan Danantara lakukan dengan uang sebanyak itu.
"Apakah membeli obligasi? Buyback saham yang sudah anjlok atau apa? Keputusan investasi pertama Danantara tidak hanya menentukan citranya tapi juga kredibilitas di pasar," jelas Harry.
Namun, untuk mendapatkan hal tersebut juga masih perlu menunggu, mengingat sebentar lagi masuk momen libur Lebaran. "Investor mungkin harus menunggu hingga Mei untuk mengetahui rencana investasi Danantara. Perlu dicatat bahwa implementasi dan eksekusi proyek tetap menjadi risiko pasar."
Kelesuan ekonomi
Di sisi lain, kekhawatiran terkait aktivitas konsumsi masyarakat yang melemah juga potensial membebani gerak indeks ke depan.
Laporan yang dilansir oleh Center of Reform on Economics (Core), mengungkapkan, ada anomali dalam aktivitas konsumsi masyarakat pada musim perayaan tahun ini. Ada dugaan, belanja masyarakat pada musim puncak konsumsi tahunan yakni Ramadan dan Idulfitri, cenderung lesu.
Kelesuan konsumsi Lebaran berpotensi menyeret pertumbuhan ekonomi mengingat konsumsi rumah tangga adalah motor penggerak Produk Domestik Bruto terbesar Indonesia. Selain Lebaran, nyaris tidak ada lagi momentum kenaikan konsumsi masyarakat di sisa tahun yang signifikan mendorong laju pertumbuhan ekonomi.
"Ada sinyal kuat bahwa kelompok rumah tangga menengah ke bawah mengerem belanja. Kelesuan pada Ramadan dan menjelang hari raya ini adalah sebuah anomali yang menggambarkan ketidakberesan di ekonomi domestik Indonesia," kata tim ekonom CORE di antaranya Yusuf Rendy Manilet, Azhar Syahida, dan Dwi Setyorini.
Gejala anomali konsumsi rumah tangga menjelang Idulfitri tertangkap dari tren deflasi pada awal 2025. Badan Pusat Statistik (BPS) kembali mencatat deflasi pada Februari 2025, baik secara tahunan (-0,09%), bulanan (-0,48%) maupun year-to-date (-1,24%). Secara agregat, inflasi inti memang masih cukup baik 0,25% (bulanan) dan 2,48% (tahunan).

Sinyal pemangkasan konsumsi oleh rumah tangga juga tercermin dari hasil Survei Potensi Pergerakan Masyarakat angkutan lebaran 2025. Pada lebaran 2025, Kementerian Perhubungan memprediksi jumlah pemudik mencapai 146.48 juta atau setara dengan 52% penduduk Indonesia.
Namun, proyeksi tersebut jauh di bawah jumlah pemudik pada 2024 yang mencapai 193,6 juta, atau turun 24%. Penurunan jumlah pemudik pada lebaran 2025 juga mengindikasikan adanya penurunan pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh rumah tangga kelompok menengah ke bawah. Alhasil, banyak dari rumah tangga mengurungkan niat untuk mudik ke kampung halaman.
Di sisi lain, defisit yang langka terjadi pada awal tahun juga menuai kekhawatiran akan prospek fiskal Indonesia ke depan. Tanpa penyesuaian belanja dan upaya mencari tambahan sumber pendapatan lebih banyak, defisit fiskal RI tahun ini diperkirakan akan melebar hingga mendekati batas plafon atas yang diperbolehkan oleh Undang-Undang.
Para investor juga kemungkinan tidak akan mengesampingkan kenaikan tensi politik dalam negeri terutama menyusul penolakan keras publik akan pengesahan UU TNI yang dianggap membangkitkan lagi Dwifungsi TNI.
Pecah aksi protes dari berbagai elemen masyarakat sipil di puluhan kota seperti yang terjadi Kamis kemarin, berpotensi menahan laju indeks terutama bila sampai terjadi gejolak yang kian panas.
Dalam pada itu, laju indeks yang mulai hijau pada pekan terakhir perdagangan mungkin akan mudah patah di tengah jalan. Terlebih ketika isu yang fundamental terutama yang berdampak langsung pada kinerja korporasi, seperti kelesuan aktivitas ekonomi, tak kunjung mendapat solusi yang tepat.
-- dengan bantuan Dovana Hasiana dan Dityasa Forddanta.
(rui)