Militer Rusia jauh dari hal-hal yang sering dicirikan, demikian tulis Nick Reynolds, salah satu dari dua penulis laporan itu.
“Ada banyak hal yang dilontarkan di media sosial yang menunjukkan kurangnya kapasitas Rusia, tetapi media sosial dibanjiri dengan propaganda di kedua sisi dan pada tahap ini kami pikir diperlukan penilaian yang lebih bijaksana,” kata Reynolds.
Menurut laporan itu, Rusia sebagian besar telah memperbaiki kegagalan awal dalam pertahanan udara medan perang, dengan menghubungkan sistem rudal dan sensor mereka dengan benar di front invasi sepanjang 1.200 kilometer.
Akibatnya, pasukan Rusia telah mampu menghentikan sebagian besar ancaman dari rudal HARM pencari radar Ukraina, mencegat roket, Rusia juga mampu menjatuhkan jet tempur Ukraina yang terbang rendah dari jarak 150 kilometer.
Kemampuan peperangan elektronik Rusia, yang sekarang digunakan dari tingkat udara hingga peleton, terus berkembang. Bagi Ukraina, serangan ini menelan konsekuensi sebanyak 10.000 drone per bulan.
Menurut laporan itu, pasukan Rusia tampaknya mampu menguraikan sistem komunikasi Motorola terenkripsi Ukraina secara real time.
Mengulik tank dan pasukan
Di daratan, insinyur tempur Rusia mampu membangun jembatan ponton dengan cepat. Bahkan di awal perang dan sekarang menciptakan pertahanan parit dan ladang ranjau yang sulit untuk ditembus oleh serangan apa pun.
Pusat komando Rusia, yang terbukti rentan terhadap serangan presisi oleh roket HIMARS AS Juli lalu, dan komunikasi mereka secara rutin diretas, sekarang digali ke dalam bunker yang diperkeras. Mereka telah menguasai jaringan telepon lokal di wilayah pendudukan, mengisolasi, dan mendedikasikannya untuk perang.
Tentara Rusia membuat tank tempur utama mereka T-80 dan T-72 lebih bertaji menghadapi senjata anti-tank Barat Ukraina. Mereka meningkatkan pertahanan lapis baja eksplosif di senjata-senjata tersebut dan membuatnya kurang dapat dideteksi oleh rudal pencari panas.
Rusia selama ini diejek secara luas di Barat karena mengerahkan tank T-55 dan T-62 yang sudah tua. Meski demikian Rusia tetap menimbulkan “ancaman medan perang yang serius,” tulis laporan itu.
Hal itu karena alat-alat itu tidak digunakan sebagai tank, tetapi pendukung tembakan sebagai kendaraan tempur infanteri yang memiliki lapis baja lebih berat dan senjata yang lebih besar.
Menurut laporan itu, pergeseran ke sekitar kota timur Bakhmut yang banyak dikritik juga adalah tanggapan rasional untuk menjaga pasukan berpengalaman Rusia, dan amunisi artileri yang bertarung pada awal perang.
Teknik ini melibatkan pengorganisasian kelompok-kelompok kecil infanteri bersenjata ringan “sekali pakai” ke dalam pasukan untuk mengekspos posisi Ukraina. Hal ini diikuti oleh unit-unit bersenjata yang lebih berpengalaman dan lebih baik, menurut laporan itu.
Serangan rudal
Meski demikian, tak satu pun dari laporan itu dapat mengelak dari fakta bahwa militer Rusia telah berkinerja buruk dan gagal mencapai target ambisius Presiden Vladimir Putin menaklukkan negara seukuran Prancis itu.
Pengiriman rudal jelajah jarak jauh Inggris dan Prancis ke Ukraina dalam beberapa hari terakhir telah menimbulkan tantangan baru bagi aset komando Rusia di belakang garis depan,. Hal ini disampaikan salah seorang sumber yang dekat dengan kementerian pertahanan Rusia.
Tentara Rusia juga masih menghadapi senjata standar NATO modern untuk pertama kalinya dan telah bersusah payah untuk mengatasinya, menurut Reynolds dan rekan penulisnya dalam laporan itu, Jack Watling.
Hal itu mungkin terlihat dalam beberapa hari terakhir, ketika Ukraina mengatakan pihaknya menggunakan sistem pertahanan udara Patriot yang baru diperoleh guna menembak jatuh beberapa rudal hipersonik Kinzhal terbaru Rusia.
Rusia mengatakan rudal yang ditembakkan Selasa malam lalu telah mencapai target dan Kinzhal juga menghancurkan baterai Patriot. Menurut laporan CNN yang mengutip seorang pejabat AS mengatakan bahwa memang sistem Patriot telah rusak tetapi tidak hancur.
Pergeseran dari serangan terhadap infrastruktur energi Ukraina dapat menunjukkan niat Rusia memukul dan menurunkan target militer mereka, menjelang serangan balasan. Meskipun hal ini belum jelas, demikian menurut Ben Barry, peneliti senior angkatan darat di International Institute for Strategic Studies, Kamis.
(bbn)