Namun, tim penulis Core menilai terdapat hal janggal karena deflasi pada februari 2025 tidak hanya terjadi pada kelompok pengeluaran tersebut, melainkan juga pada kelompok makanan, minuman dan tembakau, dengan andil sebesar -0,12% secara bulanan.
Padahal, menjelang Ramadan pada tahun-tahun sebelumnya, kelompok makanan, minuman dan tembakau selalu menyumbang inflasi, meskipun dorongan kenaikan harga biasanya tertahan oleh musim panen yang sudah dimulai pada Februari di beberapa daerah di Indonesia.
Pada 2024, kelompok pengeluaran ini memberikan andil inflasi secara bulanan sebesar 0,29% pada Februari dan 0,41% pada Maret. Sedangkan pada 2023, kelompok ini memberikan andil inflasi secara bulanan sebesar 0,13% (Februari) dan 0,09% (Maret).
BI mencatat Indeks penjualan riil (IPR) pada Februari 2025 diperkirakan merosot sebesar 0,5% (yoy), dipengaruhi jatuhnya penjualan Kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau (-1,7%).
IPR mencerminkan tingkat penjualan eceran di beberapa kota besar di Indonesia, salah satu indikator penting dari sisi produsen yang dapat menggambarkan pergerakan konsumsi rumah tangga.
Dengan mengesampingkan kasus Covid-19 pada 2020-2021, pertumbuhan IPR sebetulnya telah melambat sejak 2017. Sebelum 2017, pertumbuhan IPR selalu berada pada level dua digit, tetapi sejak 2017 pertumbuhan IPR stagnan di bawah 5%.
"Perlambatan pertumbuhan IPR sejak 2017 mencerminkan adanya tekanan yang makin mengeras terhadap konsumsi rumah tangga. Puncaknya adalah anomali pada Ramadan dan Idulfitri 2025."
Melemahnya pertumbuhan penjualan beberapa ritel menguatkan hasil survei IPR yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Misalnya, pertumbuhan penjualan Indomaret melambat signifikan dari 44,7% pada 2022-2023, menjadi hanya 4% pada 2024.
Alfamart, dari 13,9% pada 2022 terpangkas menjadi 10% pada 2024. Ramayana, dari 8,1% pada 2022, menjadi hanya 0,1% pada 2024. Perlambatan juga terjadi pada ritel kelas menengah atas, seperti Hypermarket. Pertumbuhan penjualannya tergunting setengah, dari 4,8% pada 2022 menjadi hanya 2,3% pada 2024. Matahari bahkan penjualannya terjun bebas (-2,6%) pada 2024.
Perlambatan dan kejatuhan penjualan di beberapa gerai ritel tersebut sejalan dengan melemahnya pertumbuhan transaksi belanja menggunakan ATM dan debit serta kartu kredit. BI mencatat, pertumbuhan nilai transaksi belanja menggunakan ATM dan kartu debit pada 2024 terkontraksi sangat dalam (-4%) dibandingkan 2023 yang masih tumbuh 8%.
Namun begitu, pertumbuhan nilai transaksi belanja menggunakan ATM dan kartu debit pada 2023 tersebut sebetulnya jauh lebih rendah ketimbang rata-rata pertumbuhan sebelum Covid-19 (2016-2019) yang mencapai 11%. Sementara itu, pelemahan juga terjadi di transaksi belanja menggunakan kartu kredit, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat menengah atas. Pada 2024, nilai transaksi belanja menggunakan kartu kredit hanya tumbuh 8%, jauh di bawah periode 2023 yang mencatatkan pertumbuhan 26%. Pertumbuhan pada 2024 bahkan lebih rendah dari periode sebelum Covid-19, yakni 9% pada 2019.
Pada sisi lainnya, data impor bahan konsumsi terkontraksi cukup dalam baik tahunan maupun bulanan pada Februari 2025. BPS mencatat impor barang konsumsi pada Februari 2025 menyentuh US$1,47 miliar. Angka ini 10,61% lebih rendah jika dibandingkan impor pada Januari 2025, yang mencapai US$1,64 miliar. Jika disandingkan dengan periode Februari 2024, impor menjelang Ramadan 2025 jatuh lebih dalam, sebesar -21,05%.
Sinyal pemangkasan konsumsi oleh rumah tangga juga tercermin dari hasil Survei Potensi Pergerakan Masyarakat angkutan lebaran 2025. Pada lebaran 2025, Kementerian Perhubungan memprediksi jumlah pemudik mencapai 146.48 juta atau setara dengan 52% penduduk Indonesia. Namun, proyeksi tersebut jauh di bawah jumlah pemudik pada 2024 yang mencapai 193.6 juta, atau turun 24%. Penurunan jumlah pemudik pada lebaran 2025 juga mengindikasikan adanya penurunan pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh rumah tangga kelompok menengah ke bawah. Alhasil, banyak dari rumah tangga mengurungkan niat untuk mudik ke kampung halaman.
Tekanan pada potensi pendapatan itu sejalan dengan penurunan indeks ekspektasi penghasilan 6 bulan ke depan. BI mencatat, pada Februari 2025, ekspektasi penghasilan selama 6 bulan ke depan turun 1,1% (bulanan). Pada periode yang sama, ekspektasi ketersediaan lapangan kerja selama 6 bulan ke depan juga jatuh 2,1%.
(lav)