Ia menjabarkan, pelanggaran tersebut telah melanggar banyak ketentuan hukum. Seperti UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Pasal 17 huruf a yang secara eksplisit melarang ASN merangkap jabatan sebagai komisaris perusahaan.
Kemudian, UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN. Dalam aturan tercantum bahwa ASN harus bebas dari konflik kepentingan dan menjunjung profesionalisme. Lalu, UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Konflik kepentingan diartikan sebagai penggunaan wewenang untuk kepentingan pribadi yang dapat memengaruhi netralitas keputusan.
Ada juga di UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang menyatakan bahwa komisaris harus bertindak independen, tidak boleh memiliki kepentingan yang mengganggu pelaksanaan tugas secara mandiri.
Lalu, putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang menegaskan larangan rangkap jabatan bagi pejabat negara, termasuk yang diangkat langsung oleh Presiden dan UUD 1945 Pasal 28D Ayat (1)
"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."
"Rangkap jabatan ini mencederai keadilan, karena wajib pajak lain tidak memiliki kemewahan yang sama untuk mengatur kebijakan perpajakannya sendiri dari dalam," tambahnya.
Rinto menyebut, pihaknya mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mencopot jabatan Komisaris Utama BTN dari Dirjen Pajak demi menjaga integritas sistem perpajakan nasional.
Kemudian, melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh praktik rangkap jabatan di kementerian dan BUMN. Serta merevisi Peraturan Menteri BUMN yang bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.
"Rangkap jabatan pejabat negara bukan hanya masalah etika, ini adalah indikasi sistemik rusaknya batas antara pengawas dan yang diawasi. Bila ini dibiarkan, maka kepercayaan publik terhadap institusi pajak akan runtuh," pungkasnya.
(lav)