Kedua, skenario membuat kilang berkapasitas kecil sekitar 60.000 bph, tetapi berjumlah banyak. Skenario ini, menurut Bahlil, menelan investasi yang lebih ringan untuk tiap unitnya dibandingkan dengan membangun satu unit dengan kapasitas raksasa.
“Ada sekarang, [kilang] per spot ada yang per 60.000 bph. Nah, sekarang feasibility study finalnya lagi dibuat. Nah, itu jauh lebih murah. Kalau kilang per 60.000 bph itu jauh lebih murah, harganya sekitar US$600 juta—US$700 juta. Jadi kalau kita compile menjadi 500.000 bph itu tidak lebih dari US$6 miliar.”
Skema kedua tersebut, lanjut Bahlil, menggunakan metode pembangunan per titik atau spot. Dia menyebut saat ini pemerintah sedang melakukan studi terhadap negara-negara yang sudah memakai skenario tersebut, khususnya di wilayah Amerika Latin dan Afrika.
Dengan asumsi skenario kedua tersebut, kata Bahlil, proyek kilang dengan kapasitas kumulatif 1 juta bph kemungkinan akan dibangun secara tersebar di banyak lokasi di Tanah Air.
“Iya, karena begini, negara kita ini kan negara kepulauan. Negara kepulauan yang memang kita harus mempertimbangkan aspek logistik. Nah, kita lagi menghitung apakah memang lebih ekonomis dan tepat di satu tempat, atau kita akan buat per spot-spot,” jelasnya.
Libatkan Pertamina
Dia juga menekankan Kementerian ESDM tengah berdiskusi dengan PT Pertamina (Persero) terkait dengan rencana atau skema pembangunan proyek kilang minyak baru tersebut.
“Karena [Pertamina] kita libatkan, karena pada intinya nanti pada saat inkrementasinya, [proyek kilang ini] pasti mempunyai hubungan yang erat dengan Pertamina,” tutur Bahlil.
Sebelumnya, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengonfirmasi pembangunan kilang minyak baru berkapasitas kumulatif 1 juta bph bakal melibatkan PT Pertamina (Persero) dengan konsep perusahaan patungan atau joint venture (JV).
“Jadi bisa dalam bentuk joint venture dengan Pertamina,” kata Yuliot ditemui di Kementerian ESDM, Jumat (14/3/2025).
Yuliot menyebut pemerintah juga tidak menutup kemungkinan akan bekerja sama dengan investor asing dalam membangun megaproyek kilang tersebut. Hal yang paling penting, kilang-kilang baru tersebut bisa benar-benar dibangun.
“Jadi apakah ada badan usaha dalam negeri atau nanti dari luar tergantung kondisi yang ada. Jadi seluruh kilang bisa terbangun,” ujarnya.
Membangun proyek kilang dengan skema JV bukan hal yang baru bagi Pertamina, perusahaan pelat merah itu saat ini tengah bertandem dengan Rosneft Singapore Pte Ltd di proyek Grass Root Refinery (GRR) atau Kilang Tuban untuk menyelesaikan keputusan investasi akhir atau final investment decision (FID).
Dalam salah proyek strategis nasional (PSN) tersebut, Pertamina juga terlibat dalam skema joint venture bersama Rosneft dengan nama PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PRPP).
Akan tetapi, proyek tersebut molor dan raksasa migas asal Rusia itu tidak kunjung memberikan kepastian investasinya di Tuban.
(wdh)