Realita itu bertolak belakang dari himbauan Presiden Prabowo Subianto yang menyatakan sempat mendengar bonus hari raya untuk para ojol ada di kisaran Rp1 juta.
Mengacu kajian yang pernah dilansir oleh Institute of Governance and Public Affairs Universitas Gadjah Mada (IGPA) beberapa waktu lalu, para pekerja di ranah gig economy seperti para ojek online atau kurir, terindikasi rentan tereksploitasi dalam model kemitraan yang semu.
Para ojol dan kurir menyediakan modal kerja sendiri mulai dari kendaraan, bahan bakar motor hingga pengeluaran komunikasi. Akan tetapi, tanpa disertai perlindungan kesejahteraan yang lazim diberikan bagi para pekerja di sektor formal. Posisi penyedia platform menjadi dominan karena risiko bisnis lebih banyak ditanggung oleh pekerja termasuk perihal penyediaan sarana usaha juga risiko pekerjaan.

"Dominasi tersebut dimungkinkan karena adanya ketergantungan pekerja terhadap pekerjaan dari platform, sebagai akibat dari sempitnya lapangan kerja layak, banyaknya surplus populasi relatif, dan pembiaran dari pemerintah terhadap praktik kemitraan semu," demikian dilansir dalam riset tersebut.
Menempatkannya dalam perspektif terkini, perihal bonus hari raya tak manusiawi menjadi contoh gamblang kerentanan para pekerja di segmen ini. Sebagai pekerja informal, hak para ojol atau kurir mendapatkan tunjangan hari raya sebagaimana pekerja sektor formal, tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Tidak ada hitungan jelas yang bisa menjadi acuan. Ujung-ujungnya pemberian THR adalah berdasarkan diskresi penyedia platform. Dalam konteks hari ini, pengucuran bonus hari raya para ojol juga tak terlepas dari agenda populis Presiden Prabowo.
Lapangan Kerja Sempit
Makin banyak angkatan kerja yang kesulitan masuk pasar tenaga kerja hingga terpaksa mencari penghasilan di sektor informal. Sebagian lagi masuk menggeluti segmen gig economy seperti ojek dan kurir online, yang pada banyak hal kurang memberikan kesejahteraan, bahkan rentan tereksploitasi oleh model kemitraan nan timpang.
Mengacu hasil survei konsumen terakhir, pelemahan keyakinan konsumen di Indonesia salah satu penyebab terbesarnya adalah karena kesulitan masyarakat mengakses pekerjaan. Lapangan kerja di Indonesia saat ini dinilai makin sempit dan kemungkinan masih akan susah ke depan.
Hampir semua kelas konsumen menilai ketersediaan lapangan kerja saat ini lebih sempit dibandingkan enam bulan lalu. Sempitnya lapangan kerja yang dirasakan saat ini, dinilai akan berlanjut ke depan.
Yang perlu dicatat, penurunan ketersediaan lapangan kerja itu dipersepsikan oleh semua kelas konsumen. Terutama oleh masyarakat berpengeluaran Rp2,1 juta sampai Rp3 juta, turun hingga 8,6 poin ke level terendah tiga bulan.
Persepsi itu sepertinya tidak berlebihan. Gelombang PHK yang membesar memvalidasi kekhawatiran akan keamanan pekerjaan. Bukan hanya angkatan kerja baru yang kesulitan masuk pasar kerja, pekerja lama pun terancam kehilangan pekerjaan.
Di sisi lain, bila melihat data statistik, penciptaan lapangan kerja di Indonesia dalam lima tahun terakhir juga minim. Selama periode 2019-2024, hanya tercipta 2,01 lapangan kerja di sektor formal. Anjlok tajam dari periode 2014-2019 di mana tercipta 8,55 juta lapangan kerja baru.
Faktor pandemi yang meletus pada periode lima tahun kedua memang sangat signifikan memicu lonjakan angka pengangguran. Alhasil, bila menghitung rentang pascapandemi hingga data terakhir tahun ini, memakai data Sakernas Agustus 2021 dibanding Februari 2024, penciptaan lapangan kerja di sektor formal tercatat sebesar 5,26 juta orang.

Sampai Agustus 2024, terdapat 7,47 juta orang berstatus pengangguran terbuka. Yang mencemaskan, jumlah angkatan kerja yang terjebak menjadi pengangguran terpaksa atau setengah pengangguran (underemployment) juga masih sangat banyak, mencapai 11,56 juta orang.
Sementara sebanyak 9,9 juta anak muda atau Gen Z (kelahiran 1997-2012), terindikasi tidak memiliki aktivitas produktif. Angka itu setara 22,25% dari total populasi anak muda di Indonesia sebesar 44,47 juta per Agustus 2023.
Hampir 10 juta anak muda itu tergolong NEET atau Not in Employment, Education and Training, alias tidak bersekolah, tidak bekerja, dan tidak sedang mengikuti pelatihan, seperti dilansir oleh BPS.
Pengangguran Terpaksa
Banyaknya orang yang menjadi ojek online dalam beberapa tahun terakhir juga sulit disebut sebagai keberhasilan penciptaan lapangan kerja di Indonesia.
Sebaliknya, hal itu justru menjadi salah satu indikator paling jelas kegagalan penciptaan lapangan kerja yang layak di negeri ini.
Data terakhir yang pernah dilansir oleh asosiasi ojol, jumlah ojek online di Indonesia telah mencapai 4 juta orang. Menilik karakteristiknya, ojek ataupun kurir online bukanlah termasuk pekerjaan formal.

Bukti terakhir, soal kepastian THR dalam nilai layak pun tidak bisa didapatkan oleh pekerja di ranah ini.
Dalam beberapa dekade terakhir, dominasi sektor informal di Indonesia juga belum bisa dibalik. Saat ini 57,95% dari penduduk Indonesia bekerja di kegiatan informal.
Makin dominannya sektor informal di sebuah perekonomian, justru menjadi cermin kegagalan penciptaan lapangan kerja yang layak bagi warga.
"Negara-negara dengan pendapatan tinggi cenderung memiliki tingkat selfemployment [pekerja informal] yang lebih rendah. Karena lebih banyak pekerja yang dapat bekerja di lapangan usaha formal," tulis riset SMERU Research Institute tahun lalu.
Tanpa gebrakan kebijakan, tren penurunan penyerapan tenaga kerja dalam 10 tahun terakhir akan sulit dibendung di tengah tantangan perdagangan global yang potensial memperlambat laju ekonomi domestik.
(rui)