Bloomberg Technoz, Jakarta - Perlu ada kejelasan batasan peran militer di ruang siber agar tidak tumpang tindih dengan institusi sipil, serta tetap menjunjung tinggi kebebasan digital masyarakat. Hal ini merupakan respons atas perluasan tugas tentara seperti tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menegaskan keterlibatan TNI di ruang siber harus difokuskan pada pertahanan siber untuk menghalau ancaman dari luar negeri.
“Yang perlu sama-sama kita jaga dan kawal adalah peran TNI yang harusnya lebih ke pertahanan siber untuk menghalau ancaman maupun serangan dari luar. Ini agar tidak bentrok dengan tugas lembaga lain dan memonitor masyarakat Indonesia di ruang siber,” ujar Heru kepada Bloomberg Technoz, dilansir Kamis (27/3/2025).
Heru mencontohkan, bagaimana militer di negara lain berperan melindungi infrastruktur digital yang dianggap vital bagi negara, seperti sistem komunikasi, energi, dan pemerintahan. Selain itu, mereka juga memiliki tanggung jawab dalam mendeteksi, mencegah, dan merespons serangan siber yang dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara.
Menurut Heru, jika peran TNI dalam ruang siber semakin diperluas, maka diperlukan “peningkatan kapabilitas dan doktrin perang siber di TNI,” karena banyak negara mulai mengembangkan strategi dan kemampuan perang siber.
Pro kontra revisi regulasi terkait TNI (yang telah berusia dua dekade) telah dimulai dari agenda pembahasan di DPR hingga menimbulkan kecurigaan publik, mengingatkan bahwa Indonesia akan masa lalu yang otoriter. Namun koalisi partai pendukung pemerintah Presiden Prabowo Subianto meminta para anggota parlemen untuk mempercepat pengesahan RUU tersebut.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Supratman Andi Agtas bahkan menyebut, “tentara adalah tulang punggung pertahanan nasional, melindungi integritas dan kedaulatan negara,” dan penguatan fungsi-fungsi tersebut diperlukan mengingat “kompleksitas tantangan nasional, stabilitas pertahanan, dan ancaman hibrida militer dan non-militer,” dalam laporan Bloomberg News.
Sejalan dengan hal tersebut sejumlah kelompok masyarakat sipil, salah satunya Digital Democracy Resilience Network (DDRN), termasuk di dalamnya Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), mengungkapkan kekhawatiran terhadap potensi militerisasi ruang siber yang dapat mengancam kebebasan digital masyarakat sipil.
Dalam laporan terbaru, DDRN menyoroti beberapa aspek dalam revisi UU TNI yang dapat membuka celah bagi intervensi militer di ruang digital. DDRN menyampaikan, berdasarkan dokumen Daftar Inventaris Masalah (DIM) pemerintah tahun 2024 lalu soal RUU TNI, “pemerintah turut menganggap ancaman virtual dan kognitif seperti manipulasi sosial, polusi informasi, dan narasi dengan ekspresi berlebih sebagai bentuk ancaman siber.”
Oleh karena itu, desakan penolakan yang muncul 19 Maret atau satu hari pengesahan Rancangan Undang-Undang menjadi UU TNI, menyebut “membuka peluang penggembosan demokrasi digital dan pelanggaran hak-hak digital, seperti hak atas kebebasan berekspresi, hak atas privasi, dan hak atas informasi.”

Sehingga, frasa di dalam Ayat 2b bahwa TNI “membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber” bersifat karet dan dapat disalahgunakan. “Militerisasi ruang siber dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang koersif-militeristik seperti penyensoran, operasi informasi, hingga pengetatan regulasi terkait ekspresi daring.”
Dalam draf final memang telah dihapus dan tidak disebutkan secara eksplisit. Meski begitu DDRN tetap menjadi gambaran bahwa konstruksi berpikir pemerintah yang mencampuradukkan antara operasi teknis yang menargetkan komputer atau infrastruktur siber (cyber operations) dengan serangan sosial yang menargetkan pikiran manusia (cyber-enabled information warfare).
“Hal ini semakin terlihat dari dokumen Satuan Siber (Satsiber) TNI, yang mencampuradukkan dua jenis perang ini. Pada dokumen itu, Satsiber TNI juga terlihat sangat berambisi untuk menguasai kemampuan takedown konten dan akun hingga operasi kontra opini publik,” jelas DDRN.
Selain itu, ketentuan yang memungkinkan prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil di lembaga strategis menambah kekhawatiran akan kebijakan militeristik dalam mengatur ruang siber. Revisi ini, lanjut DDRN, mengabaikan persoalan mendesak lain, seperti pengaturan tanggung jawab korporasi digital dan percepatan pelaksanaan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
Terkait perluasan tugas militer selain perang termasuk menanggulangi ancaman siber, Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid menyatakan akan terdapat pembahasan lebih jauh namun pihaknya masih menunggu terkait poin baru dari UU TNI baru tersebut.
“Kami masih menunggu terkait poin baru di Undang-Undang TNI yang terkait dengan keamanan siber. Pada prinsipnya sekali lagi kantor ini terbuka sekali untuk diskusi,” kata Meutya ketika ditemui di Jakarta awal pekan ini. Lebih lanjut, Meutya mengaku siap memberikan masukan, “jikalau nanti kami juga dipersilakan untuk memberikan masukan, tentu akan dengan senang hati memberi masukan.”
(wep)