Berdasarkan berkas Polri, jaksa sepakat adanya indikasi kuat penerbitan sertifikat hak milik (SHM), sertifikat hak guna bangunan (SHGB), dan izin persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (PKKPR) secara ilegal atau melawan hukum. Jaksa juga menilai ada bukti kuat terjadinya pemalsuan dokumen dan penyalahgunaan wewenang para pejabat publik yang terlibat.
Hal ini membuat penyidik Polri menjeratnya dengan pasal pidana umum yaitu Pasal yang diterapkan, yakni Pasal 263 KUHP dan Pasal 264 KUHP, Pasal 266, hingga Pasal 55-56 KUHP.
Akan tetapi, menurut Harli, jaksa menyoroti adanya dugaan penerimaan gratifikasi atau suap para tersangka dalam kasus tersebut; termasuk Kepala Desa Kohod Arsin; dan Sekretaris Desa Kohod Ujang Karta. Dua tersangka lainnya adalah penerima kuasa dalam pengurusan dokumen yaitu Septian Prasetyo dan Candra Eka.
"Dugaan ini mencuat karena sertifikat tersebut diduga digunakan untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah dalam proyek pengembangan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 Tropical Coastland," ujar Harli.
Unsur Tipikor, kata dia, semakin kuat karena jaksa juga menemukan potensi kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara sebagai akibat dari penguasaan wilayah laut secara ilegal.
Kasus ini berawal dari munculnya pagar laut lebih dari 30 kilometer di pesisir Utara Kabupaten Tangerang, terutama Desa Kohod. Dalam polemik tersebut, pemerintah kemudian mengungkap ada 280 sertifikat berbentuk SHM dan SHGB atas lahan di kawasan perairan laut.
(azr/frg)