Di sisi lain, lanjut dia, pemerintah juga mewaspadai jika kebijakan itu akan berdampak terhadap produk impor yang tertolak masuk ke AS akan membanjiri pasar domestik, termasuk potensi maraknya barang ilegal.
"Untuk mengantisipasi, kami minta ada perlindungan industri dalam negeri. Ada juga kemungkinan transhipment illegal, di mana seakan-akan ekspor ke AS di akui sebagi produksi dari Indonesia, padahal produk tersebut dari negara-negara lain," kata dia.
Dalam kaitan itu, lanjut Febri, Kementeriannya mendorong pemberi surat keterangan asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO) barang ekspor yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk diperkuat dan diperketat pengawasannya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca dagang RI dengan AS memang masih terbilang surplus, dengan total mencapai US$1,57 miliar sepanjang Februari 2025, yang juga naik dari bulan sebelumnya yang sebesar US$1,56 miliar.

AS juga masih jadi mitra dagang terbesar RI melewati India yang berada di posisi kedua dengan nilai sebesar US$1,27 miliar dan Filipina diposisi ketiga dengan nilai US$753,2 juta.
Komoditas penyumbang surplus terbesar masih berada di industri sektor "mesin dan perlengkapan elektrik, pakaian dan asesoris (rajutan) dan alas kaki," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers, Senin (17/3/2025) lalu.
AS sebelumnya memastikan akan tetap memberlakukan tarif pungutan yang akan dilakukan pada 2 April mendatang terhadap barang-barang ke negerinya.
Pemberlakuan tarif tersebut juga sempat menimbulkan kegelisahan dan mengakibatkan potensi perang dagang global yang mengancam sebagian besar perekonomian dunia.
"Kebijakan Presiden Trump telah menyuntikkan ketidakpastian ke pasar dengan cara yang belum pernah kita lihat selama bertahun-tahun,” papar Todd Jablonski, Kepala Investasi Multi-Aset dan Kuantitatif di Principal Asset Management, dalam wawancara dengan Bloomberg Television.
(ibn/roy)