Logo Bloomberg Technoz

Rupiah yang terus melemah akan membuat harga barang ikut terkerek dalam apa yang disebut sebagai imported inflation. Bila berlanjut, inflasi barang konsumsi yang terkerek pelemahan rupiah bisa menekan daya beli masyarakat.

Sementara dampak pelemahan bagi keuangan negara juga tidak bisa diabaikan. Setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100 per dolar AS, defisit APBN 2025 akan bertambah Rp3,4 triliun. 

Dalam asumsi makro APBN, kurs dolar AS ditetapkan sebesar Rp16.100/US$. Rata-rata nilai tukar rupiah sepanjang tahun ini melemah di Rp16.344/US$, sehingga pelemahan mencapai Rp244/US$. Alhasil, defisit APBN 2025 diperkirakan turut membengkak hampir Rp10 triliun.

Operasi Moneter

Tekanan penguatan dolar AS yang berdampak pada mata uang yang menjadi lawannya, memang jadi salah satu faktor utama tekanan yang dihadapi oleh rupiah dalam beberapa tahun terakhir.

Dolar AS diburu terutama ketika prospek kebijakan bunga acuan The Fed diperkirakan bertahan di level tinggi dalam waktu lebih lama. 

Lonjakan tingkat imbal hasil Treasury, surat utang AS, juga membuat daya tarik surat utang RI jadi makin pupus hingga memicu hengkang dana asing dari pasar sampai menyeret rupiah. 

Dalam pada itu, Bank Indonesia akhirnya menggeber jurus 'baru tapi lama' pada September 2023 lalu, yakni dengan menerbitkan instrumen penarik hot money, Sekuritas Rupiah (SRBI).

SRBI mengingatkan publik pada alat operasi moneter yang telah lama dihentikan penerbitannya yaitu Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang berciri tenor pendek dan yield atau imbal hasilnya tinggi.

Sejak pertama kali dirilis pada September 2023, BI sudah menerbitkan Rp969,16 triliun sampai akhir November 2024. Sejak itu, penerbitan SRBI menurun hingga terakhir posisi outstanding-nya mencapai Rp893,39 triliun per akhir Februari 2025.

Kepemilikan asing di SRBI berkurang (Riset Bloomberg Technoz)

Selama ada SRBI, yang juga diikuti oleh penerbitan Sekuritas Valas (SVBI) dan Sukuk Valas (SuVBI), rupiah bergerak rata-rata di level Rp15.855/US$, tak berbeda dengan kisaran pergerakan setahun sebelumnya.

Pada periode tersebut, level terkuat rupiah ada di Rp15.100/US$ pada 25 September 2024. Sedangkan rekor terlemah ada di Rp16.595/US$ pada perdagangan kemarin. 

Namun, ketika Donald Trump memenangkan Pemilu AS pada awal November, rupiah kembali terhantam dan keberadaan SRBI seolah tidak banyak berdampak. Padahal kehadiran SRBI telah memicu crowding out di sistem keuangan karena duit beredar di pasar tersedot instrumen ini akibat tawaran yield yang jauh lebih menarik, termasuk likuiditas di perbankan.

Ketika nilai outstanding SRBI melejit tertinggi pada akhir November lalu, rupiah masih tak berdaya tak mampu keluar dari zona Rp16.000-an per dolar AS sampai akhirnya kejeblos di Rp16.642/US$ pada Selasa kemarin.

Investor asing terlihat semakin mengurangi minat di SRBI. Per akhir Februari, posisi asing di instrumen ini mencapai Rp230,13 triliun, turun Rp32,04 triliun dari puncak kepemilikan pada akhir Oktober lalu. Bukan hanya dari SRBI, minat asing di SVBI dan SUVBI juga turun terus. 

Secara agregat nilai outflows dari tiga instrumen itu mencapai Rp3,41 triliun selama bulan ini saja sampai data 17 Maret.

"Berlanjutnya outflows dari instrumen moneter mengindikasikan tanda tanya besar terkait efektivitas strategi BI memakai instrumen tersebut untuk menstabilkan rupiah," kata tim analis Mega Capital. 

Perbandingan yield SRBI versus SBN 2Y dan 10Y (Riset Bloomberg Technoz)

Minat yang kendur dari modal global, agaknya membuat SRBI tak lagi jadi andalan utama otoritas dalam menarik dana asing demi membantu rupiah. Nilai penerbitan SRBI terus turun dan tingkat bunganya ditahan di 6,40%, ditengarai untuk menggiring minat pasar kembali membeli surat berharga negara (SBN).

Sementara untuk membantu rupiah bertahan dari tekanan pasar, BI kian getol menempuh jurus intervensi langsung ke pasar spot valas, pasar forward domestik dan ke pasar SBN. Jurus itu pula yang ditempuh otoritas moneter ketika rupiah mengalami overshooting kemarin. 

BI percaya strategi yang disebut dengan istilah 'triple intervention' itu masih ampuh menahan tekanan pada rupiah, terutama dengan bekal nilai cadangan devisa yang menyentuh level rekor tertinggi dalam sejarah, sebesar US$ 156,08 miliar pada Januari lalu.

Kepercayaan otoritas juga didukung oleh penerapan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) oleh pemerintah yang diperluas jadi penempatan 100% devisa selama 12 bulan, mulai awal Maret ini.

Pertanyaannya, akankah jurus itu berkelanjutan di tengah lanskap global yang masih tak pasti, sentimen terkait prospek fiskal serta keraguan akan kebijakan pemerintah baru yang telah memicu arus keluar modal asing belakangan?

"Bank Indonesia memiliki cadangan devisa yang bisa digunakan untuk menahan rupiah untuk sementara, namun hal itu tidak akan berkelanjutan jika sentimen pasar mendorong pelemahan rupiah begitu kuat," kata Jon Harrison, dari GlobalData TS Lombard di London, dilansir dari Bloomberg News.

Investor akan menanti apakah akan ada penyesuaian kebijakan moneter oleh BI dalam Rapat Dewan Gubernur April nanti, misalnya menaikkan bunga acuan, untuk memangkas arus outflows yang meningkat atau membiarkan rupiah terdepresiasi lebih dalam.

"Untuk saat ini, saya kira BI akan memilih membiarkan rupiah melemah seiring tingkat inflasi yang rendah memberi otoritas ruang untuk bermanuver," kata Harrison.

Solikhin M. Juhro, Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia, menilai, kejatuhan rupiah sampai menjebol level terlemah tahun 1998 tak berarti mencerminkan fundamental ekonomi serapuh di masa krisis tersebut.

"Kondisi saat ini masih jauh dari krisis 1998. Situasi saat ini sudah jauh berbeda dan kita sudah tidak rentan seperti dulu," kata Solikhin dilansir dari Bloomberg News.

Ketika ditanya apakah situasi saat ini bisa memburuk seperti kondisi tahun 1998, Solikhin mengatakan, ekonomi RI masih stabil tumbuh 5%, inflasi rendah ditambah rasio utang publik dan swasta terkendali.

Penerbitan Global Bond

Menurut Chief Economist Trimegah Sekuritas Fakhrul Fulvian, masih ada jurus yang bisa dilakukan oleh otoritas demi menahan kejatuhan rupiah lebih dalam.

"Kami melihat sebagai pelengkap dari kebijakan DHE, Kementerian Keuangan sebaiknya juga mempertimbangkan penerbitan global bond lebih banyak dalam rangka menjadi bantalan untuk memenuhi kebutuhan aset dolar AS dalam negeri serta meningkatkan cadangan devisa untuk meminimalkan volatilitas," kata Fakhrul.

Pada Januari lalu, Kemenkeu baru sekali menjual global bond berdenominasi dolar AS dan euro, senilai US$ 2 miliar dan EUR 1,4 miliar. 

Berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, Kemenkeu biasanya merilis SBN dalam valas, baik itu dalam dolar AS, euro ataupun yen Jepang, bisa mencapai lima kali dalam setahun. 

Yang jadi catatan, nilai realisasi pembiayaan utang pemerintah sampai akhir Februari lalu saja sudah cukup besar, mencapai 28,9% senilai Rp224,3 triliun, naik dibanding Februari 2024 sebesar Rp184,9 triliun atau setara 28,5% terhadap APBN. 

Pembiayaan utang itu terdiri dari SBN neto Rp238,8 triliun atau 37,2% terhadap APBN. Juga, terdapat pinjaman (neto) senilai Rp14,4 triliun per Februari 2025.

(rui/aji)

No more pages