“Sepertinya masih terganjal dengan persoalan bagaimana pensiun dini PLTU itu akan dilakukan,” ujarnya.
Lebih Konkret
Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menuturkan komitmen pendanaan JETP melalui kemitraan internasional—seperti dengan Jerman hingga Jepang — seharusnya dapat menyelesaikan pensiun dini dua PLTU, yakni; PLTU Cirebon-1 dan PLTU Pelabuhan Ratu.
Menurut Bhima, penyelesaian transaksi pensiun dini dua PLTU tersebut bisa menjadi contoh konkret keseriusan pemerintah dalam proyek transisi energi.
Ketika daftar pensiun dini PLTU makin banyak, khususnya yang akan dikeluarkan di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru, maka pendanaan JETP dinilai akan lebih konkret dibandingkan dengan fase pertama JETP dengan campur tangan Amerika Serikat (AS).
“Sampai Amerika keluar dari JETP, belum ada satupun PLTU batu bara yang dipensiunkan. Padahal, [banyak] kerugian, dari segi kesehatan, kerugian dari lingkungan, menghambat juga investasi di energi terbarukan, itu kan harusnya sudah mulai dimatikan secara cepat PLTU batu bara yang masuk dalam list ya. Akan tetapi belum juga,” ujar Bhima.

Selain menambah daftar jumlah PLTU yang akan dipensiunkan dini, pemerintah juga perlu mengeluarkan PLTU baru yang dikeluarkan dari RUPTL. Dengan demikian, dokumen investasi dan kebijakan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP dapat terintegrasi satu sama lain.
“Jadi kalau Jerman mau biayain pemensiunan PLTU batu bara, misalnya [PLTU] Tanjung Jati A itu dikeluarkan dari rencana pembangunan PLTU pada 2025. Nah itu baru konsisten, karena yang terjadi dikhawatirkan PLN masih akan membangun PLTU baru,” imbuhnya.
“Jadi kan sama aja yang kemarin dipensiunkan ini bangun baru, dan biaya pemensiunannya pasti yang baru ini jadi lebih mahal. Nah itu yang harus kemudian menjadi komitmen bersama.”
Bentuk Satgas
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebelumnya telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Transisi Energi dan Ekonomi Hijau guna percepatan implementasi JETP untuk mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto selaku Ketua Komite Pengarah Satgas Transisi Energi dan Ekonomi Hijau mengungkapkan Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi sebesar 31,89% secara mandiri dan hingga 43% dengan dukungan internasional pada 2030.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah telah membentuk Satgas Transisi Energi dan Ekonomi Hijau berdasarkan Keputusan Menko Perekonomian No. 141/2025.
“Satgas ini dibentuk memiliki empat kelompok kerja yaitu energi hijau, industri hijau, kemitraan dan investasi hijau, serta pengembangan sosial, ekonomi, dan sumber daya manusia,” kata Airlangga seusai rapat koordinasi melalui keterangan resmi yang dilansir Senin (24/3/2025).
JETP sendiri didirikan pada KTT G-20 di Bali pada 2022 sebagai bagian dari kemitraan antara Pemerintah Indonesia dengan International Partners Group (IPG) dan Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ). Kemitraan ini memperkuat transisi energi dengan dukungan internasional.
Sebagai bagian dari implementasi JETP, sebanyak 54 proyek telah menerima dukungan pendanaan internasional dengan total komitmen sebesar US$1,1 miliar. Dari jumlah tersebut, sebanyak sembilan proyek mendapatkan pendanaan dalam bentuk pinjaman atau ekuitas.
Sementara itu, 45 proyek lainnya menerima hibah senilai US$233 juta.

Selain itu, IPG juga telah mengamankan jaminan senilai US$1 miliar melalui Multilateral Development Banks (MDB) Guarantee untuk mempercepat pelaksanaan proyek-proyek transisi energi bersih.
Proyek itu termasuk pengembangan energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi, elektrifikasi sektor-sektor utama, serta inisiatif dekarbonisasi industri dan infrastruktur.
Airlangga memerinci, sejumlah proyek yang akan digarap oleh JETP nantinya antara lain Muara Laboh di Sumatra Barat yakni program biotermal dan ditargetkan bisa beroperasi pada 2027. Beberapa proyek lainnya seperti photovoltage di Saguling, kemudian dekarbonisasi atau phasing out dari Cirebon Power atau PLTU Cirebon.
“Itu juga masuk dalam pembahasan. Di samping itu juga ada beberapa proyek yang lain termasuk waste to energy yang diusulkan untuk segera masuk di dalam pipeline JETP, yaitu proyek di Legok Nangka di Jawa Barat,” ujar Airlangga.
Di sisi lain, rapat koordinasi tersebut membahas langkah-langkah percepatan implementasi transisi energi yang mencakup revisi CIPP, percepatan pencairan dan optimalisasi skema pendanaan, serta penguatan transparansi dan akuntabilitas publik melalui sistem monitoring dan evaluasi berbasis digital.
Selain itu, Airlangga menyebut sinergi lintas sektor penting dilakukan untuk memastikan transisi energi di Indonesia berjalan efektif, inklusif, dan kompetitif.
Pemerintah juga menekankan perlunya kolaborasi erat dengan sektor swasta dan mitra internasional guna mempercepat adopsi teknologi rendah karbon dan mengoptimalkan pendanaan hijau.
Dengan kolaborasi yang erat antara pemerintah, sektor swasta, dan mitra internasional, Indonesia optimistis dapat menjalankan transisi energi yang efektif, inklusif, dan kompetitif.
“Pemerintah akan terus melakukan koordinasi antar kementerian. Kemudian juga diharapkan pencairan daripada financing berbagai moda ini bisa terus didorong. Pemerintah melakukan pantauan dan evaluasi berbasis digital dan para stakeholder bisa mengakses, serta secara berkala akan dilakukan koordinasi,” kata Airlangga.
(mfd/wdh)