Bloomberg Technoz, Jakarta - Ramadan selalu menjadi momen yang penuh semangat—tidak hanya untuk beribadah, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat. Di tengah transformasi digital yang semakin cepat, kehadiran social commerce membuka peluang baru, terutama bagi pelaku UMKM yang selama ini kesulitan dalam menjangkau pasar yang lebih luas.
Melalui edisi spesial Bloomberg Technoz Podcast - Ramadan Spark, kolaborasi bersama Kode Marketing, perbincangan menarik mengangkat tema besar “Berkah Kreativitas: Meneladani Spirit Bisnis Rasul & Sahabat dalam Ekonomi Kreatif Modern”. Dipandu oleh Sisi Aspasia dan Winda Mizwar, narasumber utama Hilmi Adrianto—Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA)—mengupas tuntas fenomena social commerce, peluang digital untuk UMKM, serta bagaimana Ramadan menjadi momentum strategis untuk pertumbuhan.
“Social commerce itu sebenarnya masuk dalam e-commerce... bedanya, dia digabungkan dengan kekuatan sosial media,” jelas Hilmi.
Social commerce meroket berkat fitur live shopping, di mana penjual bisa langsung menawarkan produk secara interaktif. Fenomena ini, menurut Hilmi, bukan hanya tren, tapi sudah menjadi habit baru masyarakat digital.
Namun, ada sisi lain dari tren ini: budaya instant gratification. Generasi digital kini ingin semua serba cepat, visual, dan menyenangkan.
“Live shopping enggak diciptakan untuk instan gratification sih... tapi memang memberikan fitur lebih yang memuaskan keinginan pengguna,” ungkap Hilmi.
Dengan live shopping, konsumen bisa melihat langsung bentuk produk, ukuran, warna, bahkan bagaimana produk dikenakan oleh host. Hal ini memberikan rasa percaya diri sebelum membeli—khususnya untuk kategori seperti fashion.
Salah satu peluang paling nyata dari social commerce adalah munculnya profesi baru seperti affiliate marketer, yang membantu memasarkan produk UMKM ke audiens yang lebih luas. Ini menjawab tantangan banyak pelaku UMKM yang kuat di sisi produksi tapi lemah di pemasaran.
“Affiliate itu akhirnya jadi pemasar. Mereka yang pasarin produknya... karena ada komisi, mereka jadi lebih semangat,” jelas Hilmi.
Menurut Hilmi, gap antara produksi dan pemasaran di UMKM cukup besar, terutama karena minimnya motivasi dan literasi digital. Namun, social commerce perlahan menutup gap itu melalui kolaborasi dan pendekatan komunitas.
Ramadan sebagai Momentum Konsumsi dan Promosi

Ramadan memang selalu identik dengan lonjakan konsumsi. Hilmi menyebutkan bahwa produk fashion muslim menjadi yang paling naik selama bulan puasa, disusul oleh parsel dan makanan.
“Fashion muslim pasti meningkat... parsel juga ikut naik,” katanya.
Ia juga menyoroti bahwa Ramadan bukan sekadar soal belanja, tapi juga soal berbagi. Maka dari itu, banyak platform menyesuaikan strategi marketing dengan pendekatan emosional yang relevan di bulan suci.
“Campaign itu bisa mengekspos brand. Preferensi pengguna dipengaruhi oleh promo, diskon, cashback... dan itu tetap powerful,” jelas Hilmi.
Meneladani Spirit Bisnis Rasul

Mengaitkan semangat Ramadan dan bisnis, Winda menegaskan pentingnya menjadikan Rasulullah sebagai inspirasi, bukan hanya dalam ibadah, tapi juga etika dan semangat berdagang.
“Spirit-nya Rasul itu konsisten, jujur, amanah... itu kunci bisnis juga,” katanya.
Hilmi menyambut baik sudut pandang tersebut. Menurutnya, banyak e-commerce yang kini juga mulai memberi perhatian khusus pada pasar syariah dan ekonomi umat.
Dalam proses ini, end-to-end transaksi diperhatikan: dari kehalalan produk, supply chain, hingga metode pembayaran sesuai prinsip syariah.
Perjalanan UMKM Indonesia masih panjang, namun penuh harapan. Dengan social commerce sebagai kendaraan, dan Ramadan sebagai momentum spiritual dan ekonomi, peluang menuju kebangkitan ekonomi kreatif sangat terbuka lebar.
Saksikan kisah lengkap dan penuh inspirasi ini di Bloomberg Technoz Podcast - Ramadan Spark, hanya di www.bloombergtechnoz.com, bersama Sisi Aspasia, Winda Mizwar, dan Hilmi Adrianto.
(btp)