Bloomberg Technoz, Jakarta - Pelemahan rupiah hingga menembus level terlemah sejak era krisis moneter pada 1998 diperkirakan akan sering terulang sepanjang tahun ini, menurut analisis dari Bloomberg Intelligence.
"Pelemahan rupiah melampaui Rp16.600/US$, yang menjadi level terlemah sejak masa krisis finansial di Asia 1997-1998 mungkin akan menjadi hal yang berulang terjadi pada tahun ini," kata Stephen Chiu, Chief Asia FX and Rates Strategist dan Chunyu Zhang, Senior Associate Analyst dari Bloomberg Intelligence, dalam analisis terbaru yang dilansir hari ini.
Bank Indonesia diperkirakan akan berupaya menahan rupiah terutama jika nilainya makin terperosok mendekati level terendah sepanjang masa yang pernah tersentuh yaitu di level Rp16.950/US$.
"Akan tetapi, pemulihan rupiah yang berkelanjutan mungkin membutuhkan perbaikan dari rasa khawatir pasar tentang arah fiskal di Indonesia," kata analis.
Nilai rupiah diperkirakan akan tetap tertekan pada kuartal dua tahun ini terutama jika dolar AS kembali bangkit seiring langkah The Fed, bank sentral AS, lebih agresif di kala kebijakan tarif impor mulai diterapkan.
Sejauh ini rupiah telah menjadi mata uang Asia dengan kinerja terburuk terhadap dolar AS maupun dalam konteks nilai tukarnya dengan mata uang lain (multilateral).
Nilai rupiah terhadap yen, yuan, juga euro juga ikut tertekan.
Pagi tadi, rupiah sempat menyentuh level intraday trading di Rp16.642/US$, sebelum akhirnya berbalik mengurangi pelemahan hingga menyentuh Rp16.598/US$. Ditengarai pembalikan rupiah adalah berkat intervensi Bank Indonesia yang mengatakan telah masuk ke pasar secara tegas dan terukur.
Analis Mizuho Bank Visnu Varathan menambahkan, rupiah berpotensi menembus level Rp16.800/US$ dalam jangka sangat pendek bila otoritas moneter tidak berhasil memangkas penurunan.
"Level Rp16.800/US$ dalam waktu sangat dekat bisa jebol bila tidak dihentikan. Level melampaui Rp17.000/US$ akan menjadi titik rupiah berikutnya," kata Varathan, dilansir dari Bloomberg News.
Tekanan yang membesar dialami oleh rupiah akan memacu BI meningkatkan respon intervensi di pasar. "Dalam beberapa hal, volatilitas dua arah itu akan menjadi peringatan bagi spekulan yang mengambil posisi agresif satu arah," jelasnya.
Pasar Indonesia yang hendak memasuki libur panjang perayaan Idulfitri, menurut Varathan, meningkatkan kekhawatiran investor terhadap prospek pasar. Alhasil, terjadi dorongan aksi likuidasi beberapa posisi perdagangan sebagai bentuk pencegahan atau mitigasi risiko ke depan. Itulah yang membebani rupiah lebih besar.
Surat Utang Tertekan
Tekanan yang dihadapi oleh rupiah sejak pembukaan pasar berlangsung ketika arus jual juga menguat di pasar surat utang domestik. Sementara pasar saham bangkit hari ini di mana IHSG ditutup menguat 1,06% pada sesi pertama perdagangan.
Mengacu data OTC Bloomberg, mayoritas yield SUN bergerak naik mengindikasikan harga yang tertekan oleh permintaan jual. Yield 5Y naik 4 bps menyentuh 6.985%, disusul oleh kenaikan imbal hasil 10Y sebesar 1,6 bps kini di 7,217%.
Tenor 15Y juga naik 1,4 bps kini di 7,240%. Sementara tenor 30Y turun 1,4 bps di 7,168% bersama tenor 2Y yang juga turun yield-nya tipis 0,2 bps di 6,796%.
Sentimen negatif yang melanda pasar surat utang domestik membesar sejak pekan lalu terutama setelah laporan hasil tinjauan berkala lembaga pemeringkat global, Moody's Ratings, dirilis.
Pada Jumat pekan lalu, pemodal global membukukan net sell surat utang negara senilai Rp3,52 triliun. Meski secara mingguan asing masih mencetak net buy di SUN senilai Rp2,82 triliun. Selama Maret ini, modal global juga masih mencetak net buy senilai Rp6,83 triliun.
Dalam laporan evaluasi Moody's yang dilihat oleh Bloomberg Technoz, peringkat utang RI masih tidak berubah. Yakni, investment grade dengan peringkat Baa2 dan outlook stabil.
Meski tidak mengubah peringkat, tapi Moody's memberikan beberapa catatan terkait fiskal, pertumbuhan ekonomi juga kehadiran Danantara.
Lebih lanjut Moody's menjelaskan, peringkat Baa2 juga mempertimbangkan kelemahan dalam metrik fiskal Indonesia yang lebih luas. Secara khusus, keterjangkauan utang lemah karena basis pendapatan yang rendah tetapi masih dapat dikelola.
Asumsi dasar yang digunakan oleh Moody's adalah bahwa disiplin fiskal akan terus berlanjut, mendukung stabilisasi beban utang di sekitar level saat ini.
Akan tetapi, keputusan pemerintah Indonesia menunda kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, dinilai telah menciptakan ketidakpastian tentang pertumbuhan pendapatan di masa mendatang meskipun ada upaya untuk meningkatkan kepatuhan dan tata kelola pajak.
"Efektivitas pemerintahan saat ini dan yang akan datang dalam meningkatkan basis pendapatan masih belum pasti," kata Martin Petch, VP-Senior Credit Officer dan Gene Fang, Associate Managing Director Moody's dalam laporan tinjauan berkala tertanggal 18 Maret 2025 tersebut.
(rui)