Bloomberg Technoz, Jakarta – Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batu bara Indonesia (Aspebindo) mengusulkan agar sebanyak 20% penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari tarif royalti mineral dan batu bara (minerba) yang masuk ke dalam kas negara dialokasikan untuk percepatan hilirisasi sektor pertambangan.
Wakil Ketua Umum Aspebindo Fathul Nugroho meminta pemerintah untuk mengalokasikan hasil setoran PNBP minerba 2024 khusus untuk pengembangan industri hilir sebesar Rp28 triliun atau sekitar 20% dari PNBP tersebut.
Sekadar catatan, realisasi PNBP sektor minerba pada 2024 mencapai Rp140,5 triliun dan berkontribusi sebesar 46,79% dari setoran PNBP secara agregat.
Alokasi sebesar 20% itu diharapkan dapat mendanai pembangunan infrastruktur pendukung seperti pembangunan smelter, kawasan industri hijau, dan jaringan energi terbarukan.
Selain itu, alokasi tersebut dinilai bisa juga digunakan untuk memacu riset dan inovasi teknologi pemurnian mineral, reduksi emisi di sektor pertambangan, serta pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia (SDM) berkompetensi tinggi di bidang pengolahan mineral dan manajemen rantai pasok.
“Kenaikan royalti harus berbanding lurus dengan komitmen hilirisasi. Jangan sampai Indonesia hanya menjadi pengekspor bahan mentah, sementara nilai tambah dinikmati negara lain. Kami siap bersinergi dengan pemerintah untuk memastikan kenaikan royalti tidak membebani industri, melainkan menjadi investasi jangka panjang bagi kemandirian bangsa,” kata Fathul dalam keterangannya, Selasa (25/3/2025).

Masih Kompetitif
Menurutnya, tarif royalti minerba Indonesia masih tetap kompetitif meskipun mengalami kenaikan, dengan catatan kenaikannya tidak lebih dari dua kali lipat dari negara produsen utama lainnya, seperti Australia, China, India, Filipina, Cile, dan Amerika Serikat (AS).
Sebagai perbandingan, tarif royalti batu bara di Indonesia ditetapkan progresif sesuai dengan rentang harga batu bara acuan (HBA) yakni 5%—13,5% untuk pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan 13,5%—28% untuk pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Rencananya pemerintah akan menaikkan tarif royalti batu bara sekitar 10% dari aturan saat ini.
Sementara itu, untuk kenaikan tarif royalti mineral bervariasi sesuai jenis komoditas. Sebagai contoh, kenaikan royalti untuk komoditas bijih tembaga akan naik dari 5% menjadi 17% , nickel matte dari 2% menjadi 6,5%, dan feronikel dari 2% menjadi 7%.
“Tarif royalti batu bara Indonesia memang lebih tinggi dari negara lain seperti Australia 7%—15% tergantung jenis penambangan dan negara bagian, serta China sekitar 2%—10%. Namun, metode penambangan batu bara di Australia dan China banyak tipe underground mining yang berbiaya tinggi sekitar 20% dan 60% untuk masing-masing negara,” ucapnya.
Sementara itu, untuk komoditas mineral seperti nikel, tarif royalti Indonesia tidak jauh berbeda dengan negara lain, misalnya Australia berada di angka 5%—7,5% untuk nikel olahan.
Kemudian, Filipina memberlakukan tarif 5% untuk nikel ditambah pajak ekspor. Sementara itu, Cile menerapkan sistem hibrida 1% menurut nilai (ad valorem) ditambah pajak laba progresif 8%—26% untuk semua mineral nontembaga termasuk nikel. Lalu, di AS dengan tarif 3%—5% untuk nikel, tergantung kebijakan negara bagian.
“Indonesia berada pada posisi strategis dalam penentuan suplai dan harga komoditas dunia, baik batu bara sebagai eksportir terbesar di dunia untuk steam coal, dan nikel sebagai negara dengan cadangan terbesar di dunia. Hal ini sejalan dengan ambisi hilirisasi, di mana batu bara dan mineral diolah mendapatkan nilai tambah sebelum diekspor,” imbuhnya.
Hingga saat ini, pemerintah tengah merampungkan revisi dua aturan untuk menaikkan tarif royalti minerba.
Pertama, Peraturan Pemerintah (PP) No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian ESDM. Kedua, PP No. 15/2022 tentang Perlakukan Perpajakan dan/ atau PNBP di Bidang Usaha Pertambangan Batubara.
Direktur Jenderal Minerba Tri Winarno menyatakan PP tersebut kemungkinan besar disahkan sebelum Lebaran 2025. “Hampir selesai [PP tersebut],” ujar Tri ditemui di Kementerian ESDM, Senin (24/3/2025).
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya menuturkan saat ini pemerintah masih menunggu PP itu rampung sebelum dapat menyampaikan target potensi setoran PNBP yang bisa didapatkan dari penyesuaian tarif royalti minerba.
“Ya, tunggu PP, targetnya [PNBP] sudah ada, cuma kita tunggu PP-nya karena ada perubahan sedikit,” ujarnya di kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (21/3/2025).
(wdh)