Dia kembali menggarisbawahi bahwa formula tarif baru yang diusulkan Kementerian ESDM sudah cukup adil bagi pelaku industri pertambangan masing-masing komoditas dan tidak dimaksudkan untuk menambah beban pengusaha.
“Sebelum naik kan kita sudah melakukan perhitungan berdasarkan pada laporan keuangan dua tahun berturut-turut dari beberapa perusahaan. Kemudian kita evaluasi. Saat evaluasi itu dilakukan, itu tidak menunjukkan adanya potensi perusahaan itu mengalami kolaps atau negatif arus kasnya. Enggak akan lah. Kita jaga tetap positif."
Indonesia Mining Association (IMA) sebelumnya melaporkan usulan tarif royalti berbagai komoditas pertambangan dalam rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 26/2022 merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan tarif yang berlaku di beberapa negara penghasil mineral lainnya.
“Tarif royalti yang akan berlaku untuk sejumlah komoditas mineral andalan RI seperti nikel, batu bara, tembaga, timah, hingga emas lebih tinggi dibandingkan dengan tarif yang berlaku di beberapa negara penghasil utama komoditas tersebut," kata Direktur Eksekutif IMA Hendra Sinadia saat dihubungi, Selasa (11/3/2025).
Mengutip kajian dari lembaga konsultan PricewaterhouseCoopers (PwC) yang direkapitulasi IMA, Hendra mencontohkan tarif royalti tembaga Indonesia lebih tinggi dari beberapa negara penghasil tembaga lainnya.
Dalam PP No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian ESDM, tarif royalti bijih tembaga, konsentrat tembaga, dan katoda tembaga masing-masing ditetapkan sebesar 5%, 4%, dan 2% dengan sistem single tariff.
Kementerian ESDM lantas mengusulkan penyesuaian royalti tembaga dan turunannya itu dengan menggunakan sistem tarif progresif, yaitu; bijih antara 10%—17%, konsentrat 7%—8%, dan katoda 4%—6%.
Sebagai perbandingan, Hendra mengatakan, tarif royalti tembaga di negara lain seperti Filipina hanya sebesar 4%; Australia 2,5%—7,5%; Kanada 1%—17% (dari penghasilan bersih); dan Brasil 2%.
Tidak hanya tembaga, tarif royalti emas di Indonesia juga dinilai lebih tinggi dari negara produsen lainnya. Royalti emas akan dikenai tarif progresif 7%—16% menyesuaikan harga mineral acuan (HMA), dari sebelumnya hanya 3,75%—10%.
Hendra memaparkan tarif royalti emas di Filipina hanya 4%; Australia 2,5%—5%; Kanada 1%—17% (dari penghasilan bersih); dan Brasil 1,5%.
Selain itu, dia mengatakan tarif royalti bagi komoditas nikel yang berlaku saat ini dan tarif baru yang akan ditetapkan oleh pemerintah juga tidak kompetitif dibandingkan dengan negara-negara produsen nikel lainnya.
Filipina mematok tarif progresif bijih nikel antara 5%—7% dan produk nikel sebesar 2%, sedangkan tarif yang berlaku di Australia adalah 5%—7.5% untuk bijih dan 2%—5% untuk produk nikel.
Di sisi lain, New Caledonia mengenakan tarif royalti sebesar 10%—15% untuk bijih nikel, Kanada 5%—13% (basis profit) dan 4%—6% untukk produk nikel, serta Brasil 2%—5% untuk bijih nikel dan 1%—3% untuk derivatifnya.
Adapun, di Indonesia, pemerintah mengusulkan bijih nikel dikenai tarif progresif mulai 14%—19% menyesuaikan HMA, setelah sebelumnya diberikan sistem single tariff bijih nikel hanya sebesar 10%.
Untuk produk turunan nikel, tarif progresif diusulkan naik 4,5%—6,5% untuk nickel matte, sementara tarif windfall profit dihapus. Sebelumnya, berlaku single tariff 2% dan windfall profit bertambah 1% untuk produk nickel matte.
Feronikel juga akan dikenai tarif progresif naik mulai 5%—7% menyesuaikan HMA. Sebelumnya berlaku single tariff hanya sebesar 2%. Sementara itu, nickel pig iron juga akan diganjar tarif royalti progresif mulai 5%—7%, dari sebelumnya single tariff sebesar 5%.
Tarif royalti yang tidak kompetitif di Indonesia, menurut Hendra, akan berdampak pada rencana produksi serta performa investasi sektor pertambangan ke depannya.
Dengan demikian, IMA meminta kepada Kementerian ESDM agar diberikan waktu lebih komprehensif guna mendiskusikan usulan kenaikan tarif oleh Ditjen Minerba tersebut, mengingat waktu sosialisasinya yang juga mendadak pada Sabtu (8/3/2025).
"Kami memohon kiranya pemerintah dapat mempertimbangkan rencana kenaikan tarif tersebut. Apalagi, beberapa tahun terakhir, target penerimaan negara dari sektor minerba selalu melebihi target,” kata Hendra.
(wdh/lav)