Bloomberg Technoz, Jakarta - Tantangan global yang ditandai dengan tren proteksionisme yang kian menguat terutama di negara-negara maju, ditambah berbagai variabel domestik yang juga tidak mudah, akan meyulitkan perekonomian Indonesia tumbuh di atas 5% pada tahun ini, menurut analisis terbaru Bloomberg Economics yang dilansir hari ini.
Tamara Mast Henderson, Ekonom Bloomberg Economics, dalam kajian terbarunya, memperkirakan, pertumbuhan ekonomi RI pada 2025 hanya akan sebesar 4,9%, lebih rendah ketimbang prediksi sebelumnya di angka 5,1%.
Pertumbuhan rendah di angka 4,9% diperkirakan berlanjut pada 2026 nanti, juga turun dibandingkan proyeksi sebelumnya 5,15%.
"Revisi tersebut mencerminkan outlook investasi yang lebih lemah dan kenaikan risiko perdagangan dari ancaman tarif Presiden AS Donald Trump," kata Henderson, dilansir dari Bloomberg.
Menurut analisisnya, perekonomian RI sebenarnya sudah menunjukkan kelesuan bahkan ketika ancaman tarif Trump belum terlalu memanas. Arus pemutusan hubungan kerja besar-besaran yang melanda industri padat karya seperti tekstil, telah melukai konsumsi rumah tangga.
Selain itu, ketidakpastian yang menyertai transisi kepemimpinan baik di Indonesia maupun di AS telah berdampak pada permintaan kredit.
Berikut ini beberapa catatan dan sorotan Bloomberg Economics untuk prospek ekonomi Indonesia:
Kerentanan Dampak Tarif AS
Risiko Indonesia terdampak kebijakan tarif AS secara langsung terlihat lebih terkendali bila dibandingkan negara di kawasan Asia lain. Angka ekspor barang dan jasa Indonesia pada AS relatif kecil bila dibanding negara lainnya, sehingga bila tarif diterapkan, efeknya pun mungkin akan lebih kecil.

Sejauh ini, nilai penjualan barang ke AS hanya 10% dari total ekspor RI atau masih di bawah 2% dari PDB.
Meski demikian, menurut Tamara, Indonesia tidak akan bisa lolos dari kejutan yang melanda perdagangan global, dengan kebijakan tarif Trump kemungkinan akan menyasar barang pertanian, material, logam serta manufaktur.
"Penerapan tarif yang makin banyak yang tenggatnya 2 April nanti, termasuk tarif resiprokal, kemungkinan akan berdampak pada semua ekspor Indonesia ke AS," kata Henderson.
Efeknya bukan hanya pada volume dan harga produk terkait yang terkena tarif, tapi produk substitusi dan komplementer juga akan terdampak.
Permintaan global yang melemah juga diperkirakan akan menekan harga energi dan komoditas, mengancam 25% pendapatan ekspor RI.
Adapun dampak tak langsung akan menghantam para investor, pengusaha dan konsumen di Indonesia. Investasi menyumbang 30% PDB diperkirakan akan mengalami tekanan dari volatilitas pasar dan perdagangan global.

"Penanaman modal asing [FDI] sepertinya akan sulit datang karena tarif Trump akan mendorong re-shoring produksi AS. Begitu juga rekrutmen tenaga kerja dan belanja diskresi akan melemah seiring upaya pengusaha berlindung dari guncangan perdagangan," kata Tamara.
Namun, kemungkinan membanjirnya barang impor dari pasar lain, akan memberi dukungan pada konsumsi rumah tangga.
Strategi Indonesia
Pemerintah RI berupaya menghadapi tantangan perdagangan global itu dengan mendiversifikasi pasar, menarik investasi dan mengurangi ketergantungan impor. "Namun, kami tidak melihat adanya perbaikan cepat terutama dengan perekonomian di seluruh dunia sedang berjuang mengatasi kelebihan pasokan yang muncul dalam waktu dekat," kata Henderson.
Rencana pembatasan impor pakan gandum mungkin bisa membantu petani jagung di dalam negeri. Begitu juga mandat biodiesel B40 mungkin akan mengurangi impor bensin dan keduanya akan memperkuat ekspor serta PDB.
Konsumsi Rumah Tangga
Indonesia perlu memperkuat konsumsi domestik sebagai motor utama PDB agar dampak perang dagang bisa diimbangi.
Peningkatan belanja sosial pemerintah untuk perumahan, pendidikan, perawatan kesehatan, akan membantu konsumsi domestik.
Di antaranya, program 3 Juta Rumah, Makan Bergizi Gratis, dan pemeriksaan kesehatan gratis, diharapkan bisa menghalau penyusutan jumlah kelas menengah. Di sisi lain, kenaikan upah minimum 6,5%, lalu penghapusan kredit macet usaha kecil, juga upaya menghadang serbuan tekstil selundupan, menjadi bagian dari upaya mendukung konsumsi.

Hanya saja, berbagai kebijakan itu nyatanya tidak mampu memperbaiki sentimen investor. Indeks saham, IHSG, sudah tergerus 12,9% year-to-date, terburuk kedua di Asia setelah bursa Thailand.
Sementara rupiah melemah 2,7%, menjadi salah satu yang terburuk di emerging Asia dan berkebalikan dengan kinerja mayoritas valuta di kawasan yang menguat pada periode yang sama.
Premi risiko surat utang juga melesat di mana yield SUN 10Y sudah naik 40 basis poin sejak pertengahan bulan Februari. Bandingkan dengan penurunan US Treasury sebesar 20 basis poin pada saat yang sama.
Sentimen investor yang negatif, ditengarai berpusat pada kekhawatiran akan keberlanjutan fiskal Indonesia.
Kekhawatiran muncul kembali bahwa Presiden Prabowo tidak akan mempertahankan pengendalian fiskal dengan ia mempercepat pengeluaran bantuan sosial dan membatalkan kenaikan PPN, menurut ekonom.
Defisit anggaran di awal tahun yang langka terjadi menimbulkan kecurigaan meski tampaknya hanya sementara. Di sisi lain, Henderson melihat risiko lebih besar akan terjadi setelah 2026, ketika sebagian besar guncangan perdagangan global telah diatasi.
"Asumsi dasar kami, Menteri Sri Mulyani akan menjabat empat periode anggaran pertama dari lima tahun jabatan Presiden Prabowo dan disiplin fiskal akan cukup untuk menjaga keberlanjutan utang," jelasnya.
Ia memperkirakan defisit APBN akan terjaga sesuai aturan yaitu tidak melampaui 3%. "Kekhawatiran utama kami perihal fiskal adalah apakah parlemen akan menurunkan batas defisit secara material. Jika Menkeu dan aturan anggaran yang memadai tidak diterapkan untuk membatasi pengeluaran pemerintah, pasar pasti akan protes," kata Henderson.
Bank Indonesia
Bank sentral RI terlihat di bawah tekanan yang meningkat untuk membantu membiayai pengeluaran pemerintah.
Langkah BI berencana membeli surat utang negara terkait program 3 juta rumah, juga kesediaan meminjamkan Rp130 triliun untuk program perumahan,
Ekonom juga menyoroti kekhawatiran bahwa independensi BI akan lebih dibatasi. Proses pembuatan beleid sektor keuangan, yang mengatur juga mandat bank sentral termasuk perihal pembelian surat utang pemerintah di pasar primer, akan menjadi perhatian pasar.
Danantara
Pembentukan Badan Pengelola Investasi Danantara yang disebut akan mengelola aset senilai lebih dari US$ 900 miliar, didahului dengan suntikan modal awal dari pemerintah senilai US$ 20 miliar dan aset milik negara US$ 61 miliar.
"Danantara bisa meningkatkan koordinasi proyek dan memastikan penggunaan modal lebih baik. Namun, konsolidasi kekuasaan yang cepat menimbulkan kekhawatiran terkait tata kelola. Juga, ada risiko dari kemungkinan peminjaman di luar neraca.
"Transparansi dan kejelasan dari regulator menjadi hal penting untuk mengimbangi risiko-risiko tersebut," kata Henderson.

Kesimpulan ekonom, pemerintahan di bawah Presiden Prabowo terlihat berbeda dengan rezim sebelumnya yang dinilai lebih ramah terhadap pebisnis. Playbook itu menjadi kunci untuk meyakinkan investor di era Presiden Joko Widodo termasuk saat penerapan burden sharing yang tidak lazim.
Kini, kecemasan yang ditimbulkan oleh Prabowo, persis terjadi ketika arus perdagangan global terganggu, bisa mempersulit peningkatan investasi yang dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan.
(rui)