Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Harga surat utang negara pada perdagangan Senin ini masih tertekan di tengah gejolak pasar domestik yang masih belum mereda, ditandai dengan arus jual yang masih besar oleh investor asing terutama di pasar saham ketika kinerja rupiah jadi salah satu yang terburuk di Asia.

Tekanan harga SUN terjadi di hampir semua tenor obligasi negara, membuat tingkat imbal hasil surat berharga makin menapaki level yang dianggap atraktif.

Mengacu data Bloomberg, hingga perdagangan sesi sore ini, yield SUN tenor 3 tahun melompat naik hingga 11 basis poin (bps), kenaikan imbal hasil terbesar, menyentuh level 6,763%.

Sementara tenor lebih pendek 2 tahun tercatat naik 6 bps imbal hasilnya, kini di 6,675%. SUN tenor acuan 10 tahun yang pagi tadi sempat menyentuh 7,212% pada sesi perdagangan sore melandai di 7,176%.

Tenor panjang 30 tahun juga naik hingga 9,1 bps menyentuh 7,142%. Adapun yield tertinggi saat ini dicatat oleh tenor 18 tahun yang hari ini naik 4,4 bps menyentuh level 7,229%. 

Harga SUN yang terkikis hingga yield beli surat utang negara melesat, membawa selisih imbal hasil dengan surat utang pemerintah AS, US Treasury, sempat melebar menyentuh 300 basis poin. Yield spread itu dinilai sebagai level menarik bagi investor mengoleksi SUN.

"Kami merekomendasikan buy untuk yield 10Y SUN dalam rentang tersebut dengan timing pembelian setelah libur Lebaran. Yield spread [selisih yield SUN dengan US Treasury] kami perkirakan akan berada di level atraktif 300-310 bps," kata tim analis Mega Capital di antaranya Lionel Priyadi, Muhammad Haikal dan Nanda Rahmawati.

Tekanan harga surat utang berlangsung di tengah sentimen negatif domestik yang belum mereda. IHSG yang dibuka merah sempat jatuh di bawah 6.000 atau anjlok lebih dari 4% pada sesi pertama perdagangan, sebelum akhirnya ditutup melemah 1,55%, terburuk di Asia.

Rupiah juga menjadi mata uang terlemah kedua di Asia setelah ringgit di level Rp16.555/US$.

Potret penutupan pasar keuangan RI, Senin 24 Maret 2025: Rupiah, IHSG dan surat utang semua melemah, CDS lanjutkan kenaikan

Pasar terlihat masih wait and see menanggapi pengumuman struktur manajemen dan nama-nama pengurus Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara alias Danantara. 

Meski optimisme mulai terlihat, tecermin dari nilai penurunan IHSG yang lebih kecil ketimbang sesi pagi, investor terlihat belum sepenuhnya berbalik arah masuk. Pemodal asing tercatat masih net sell pada hari ini senilai Rp160,86 miliar, jauh lebih kecil setelah pada Jumat pekan lalu mengobral kepemilikan saham hingga lebih dari Rp2 triliun.

Pekan ini menjadi pekan perdagangan terakhir sebelum libur panjang Idulfitri berlangsung sampai nanti pasar kembali buka pada 8 April.

Di sisi lain, sentimen pasar global juga tengah kurang baik sejurus dengan kekhawatiran investor akan apa yang terjadi di Turki, juga karena kian dekatnya tenggat waktu pemberlakuan tarif impor Amerika pada 2 April nanti. 

Peringatan Moody's

Sentimen negatif yang melanda pasar surat utang domestik membesar sejak pekan lalu terutama setelah laporan hasil tinjauan berkala lembaga pemeringkat global, Moody's Ratings, dirilis.

Pada Jumat pekan lalu, pemodal global membukukan net sell surat utang negara senilai Rp3,52 triliun. Meski secara mingguan asing masih mencetak net buy di SUN senilai Rp2,82 triliun. Selama Maret ini, modal global juga masih mencetak net buy senilai Rp6,83 triliun.

Dalam laporan evaluasi Moody's yang dilihat oleh Bloomberg Technoz, peringkat utang RI masih tidak berubah. Yakni, investment grade dengan peringkat Baa2 dan outlook stabil.

Meski tidak mengubah peringkat, tapi Moody's memberikan beberapa catatan terkait fiskal, pertumbuhan ekonomi juga kehadiran Danantara.

Lebih lanjut Moody's menjelaskan, peringkat Baa2 juga mempertimbangkan kelemahan dalam metrik fiskal Indonesia yang lebih luas. Secara khusus, keterjangkauan utang lemah karena basis pendapatan yang rendah tetapi masih dapat dikelola. 

Asumsi dasar yang digunakan oleh Moody's adalah bahwa disiplin fiskal akan terus berlanjut, mendukung stabilisasi beban utang di sekitar level saat ini.

Akan tetapi, keputusan pemerintah Indonesia menunda kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, dinilai telah menciptakan ketidakpastian tentang pertumbuhan pendapatan di masa mendatang meskipun ada upaya untuk meningkatkan kepatuhan dan tata kelola pajak.

"Efektivitas pemerintahan saat ini dan yang akan datang dalam meningkatkan basis pendapatan masih belum pasti," kata Martin Petch, VP-Senior Credit Officer dan Gene Fang, Associate Managing Director Moody's dalam laporan tinjauan berkala tertanggal 18 Maret 2025 tersebut.

Moody's juga menyoroti langkah Pemerintah Indonesia meluncurkan Danantara yang ditujukan untuk membiayai dan menarik investasi yang meningkatkan produktivitas.

Meet The Team Danantara (Bloomberg Technoz/Mis Fransiska)

Menurut Moodys, walau memiliki potensi manfaat, Danantara dapat menimbulkan risiko kelembagaan dan fiskal, yang akan dinilai berdasarkan otonomi keuangan, kualitas tata kelola, dan transparansi.

"Profil kredit Indonesia (peringkat penerbit Baa2) didukung oleh kekuatan ekonomi negara "a2", yang mencerminkan besarnya ekonomi dan tingkat pertumbuhan yang kuat dan stabil; kekuatan kelembagaan dan tata kelola "baa3" yang menyeimbangkan kebijakan moneter dan fiskal yang efektif dengan mesin kelembagaan yang cukup efektif dan ditandai dengan implementasi reformasi yang lambat," jelas Moody's.

Lebih lanjut, Moody's mengatakan, kekuatan fiskal "ba1", yang mencerminkan beban utang yang moderat yang diimbangi dengan keterjangkauan utang yang lemah dan ketergantungan pada pembiayaan eksternal; dan kerentanannya terhadap risiko peristiwa "a", yang didorong oleh kombinasi kerentanan eksternal yang moderat, likuiditas pemerintah, sektor perbankan, dan risiko politik.

(rui)

No more pages